Berawal dari permusuhan, berakhir menjadi pertemanan. Tuhan sudah menetapkan, maka kita harus percaya dan bertahan.
Lagi-lagi Kasih mendapatkan cacian dan makian dari salah satu temannya yang lelaki. Dia bernama Syarif. Kasih biasa memanggilnya dengan sebutan Arip. Di antara teman-temanya yang lain, Arip inilah yang paling sering menganggu Kasih. Kasih ingin sekali melawan, tapi ia terus merasa takut. Setelah berkenalan dengan Juna, Kasih disuruh untuk menjadi pemberani. Tetapi yang namanya rasa takut, sulit untung dihilangkan begitu saja.
"Bapak bukan preman!" seru Kasih kesal.
"Kamu kenapa, sih, selalu ganggu Kasih?" tuntut Kasih yang sebentar lagi ingin menangis.
Juna sedang menemui orang tuanya di ruang guru. Kasih jadi tidak bisa meminta tolong padanya.
"Itu karena kamu anaknya preman!" cemooh Arip.
Tangannya bersedekap dada dengan mata yang menatap tajam Kasih. Badannya sedikit gempal, mungkin jika melawan ia akan terpental.
Kasih tahu masalah Arip. Rumah Arip pernah dirampok oleh seseorang yang katanya preman. Tetapi Kasih yakin, bukan ulah bapaknya. Karena peristiwa perampokan itu, ibu Arip terluka parah dan maregang nyawa akibat senjata tajam. Akhirnya, Arip yang masih menduduki bangku kelas 4 itu, berakhir membenci siapapun preman. Yang menjadi masalah, bapak bukanlah preman!
"Heh, Arip Budiman!" teriak Juna di belakang Arip.
Lantas Arip menengok ke arah belakang. Terlihat Juna yang berdiri dengan gagahnya. Arip menatap sengit ke arah Juna. "Aku Syarif Hidayat, bukan Arip Budiman!" seru Arip kesal.
Arip mendekat ke arah Juna, mengepalkan tangan, bersiap untuk meninju. Saat kepalan tangannya sudah melayang, tiba-tiba seorang lelaki dewasa datang dari arah belakang Juna. Dia terlihat gagah, pun wajahnya memancarkan ketegasan.
"Jadi kamu yang namanya Arip Budiman?" tanya pria itu seraya tersenyum, membuat aksi Arip membeku.
Dengan cepat Arip langsung menyembunyikan kepalan tangannya dengan raut wajah takut. Sementara pria itu terkekeh pelan.
"Aku ... Syarif Hidayat," cicit Arip tak berani menatap pria itu.
Tangan pria itu meraih dan mengelus pucuk kepala Arip pelan. "Iya, Om sudah tahu. Kata Juna kamu anak baik."
Kasih mencebik kesal, baik apanya? Batinnya menggerutu.
Pria itu kemudian menatap Kasih, menyuruhnya untuk mendekat. "Kamu pasti Kasih, ya?" tebaknya.
Lantas Kasih mengangguk. "Om siapa?"
"Panggil saja Om Damar."
Kasih menatap Damar dan Juna secara bergantian. Wajahnya sedikit mirip, apakah mungkin ... "Om Damar Bapaknya Juna?"
Damar mengangguk seraya tersenyum. "Anak pintar," ucapnya sambil menepuk pucuk kepalan Kasih pelan.
Seketika Kasih merasa senang. Ia sekali pun tidak pernah diperlakukan selembut ini oleh bapaknya. Sementara orang yang baru dikenalnya, malah begitu lembut dengannya. Jika saja bapaknya sebaik Damar, ia pasti merupakan orang yang paling bahagia di dunia.
"Papa mau langsung pulang?" tanya Juna.
"Iya, Papa banyak pekerjaan menunggu. Syarif, Kasih, kalian berteman baik dengan Juna, ya?" pesan Damar sebelum pergi.
Arip dan Kasih mengangguk kecil, kemudian Juna menyalami tangan Damar, lalu Damar pergi meninggalkan tiga bocah berseragam merah putih tersebut.
Tidak lama setelah itu, Arip pun pergi tanpa mengatakan apa-apa.