Setelah ini, akan bertambah lagi korban, bahkan salah sasaran.
Sedari tadi Kasih terus mondar-mandir di depan rumahnya. Harusnya ia sudah berangkat ke sekolah sekarang, tetapi ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada Sumiati. Pertanyaan yang sudah lama ia pendam dan baru sekarang Kasih berani ingin menanyainya.
"Kasih? Kok, masih di sini? Kenapa belum berangkat?" tanya Sumiati yang baru saja keluar dari dalam rumah.
Kasih menggaruk kepalanya. "Kasih mau tanya sesuatu, Mbah," ucapnya.
Sumiati mempersilakan Kasih untuk bertanya. Awalnya, Kasih masih ragu-ragu dan gugup memainkan jari-jemarinya. Tetapi Sumiati kemudian menegurnya.
"Emangnya ... bapak preman, Mbah?" tanya Kasih hati-hati.
Sumiati tampak kaget saat Kasih melontarkan pertanyaan itu padanya. Sejak dulu, Kasih memang tidak pernah mengetahui Karto bekerja apa, di mana, dengan siapa. Tetapi sekarang Kasih sudah dalam masa perkembangannya. Di mana saat seusianya penuh dengan rasa ingin tahu.
"Mbah, kok, diam?" Netra Kasih menatap Sumiati ragu.
Terdengar suara hembusan napas dari Sumiati. "Kasih kata siapa?" tanyanya lembut.
Kasih menundukkan kepalanya, lalu memanyukan bibirnya. "Teman-teman," lirihnya.
Tidak ada respon dari Sumiati. Tapi Kasih tahu bahwa Sumiati tengah dilanda kebingungan. Terlihat dari raut wajahnya.
Saat Sumiati ingin berkata lagi, tiba-tiba Arip dan Juna datang membawa sepedanya masing-masing. Sumiati terkejut akan kedatangan mereka. Setahunya, Kasih tidak mempunyai teman.
"Arip? Juna? Kok, ke sini?" tanya Kasih bingung.
"Kan, mau jemput kamu," jawab Arip yang diangguki Juna.
Netra Kasih dan Sumiati bertatapan, lalu Arip dan Juna menyetandarkan sepedanya, beranjak menyalami tangan Sumiati.
Sumiati memang belum tahu jika Kasih mempunyai teman baru. Saat jatuh dari sepeda kemarin, Kasih mengatakan bahwa itu jatuh karena berlari.
"Aku Arip, Mbah."