Kepercayaan anak pada seorang ayah itu mahal. Tidak ada harganya.
Ricuh. Itu yang dapat Karto gambarkan kondisi saat ini. Ia terjebak di tengah-tengah geng kriminal yang dikenal luas seantero daerah Yogyakarta. Orang-orang yang berisi para kriminal berkumpul dari yang kelas teri, bahkan kelas atas.
Pemimpin geng kriminal tersebut sedang berpidato mengenai salah satu anggota berpengaruhnya mati tertembak. Pemimpin itu menuduh geng musuh sebagai dalang dari penembakan itu. Lantas mengajak seluruh anggotanya untuk menyerang geng musuh.
"Katamu sudah keluar dari geng kriminal setelah bebas dari penjara?" tuntut Karto menatap tajam Sutrisno.
"Kamu kira gampang keluar dari geng beginian?" cetus Sutrisno sedikit kesal. Mulut dan hidungnya mengeluarkan kepulan asap, sementara jarinya menghimpit sebatang rokok.
"Terus maksudmu apa bawa-bawa aku ke sini?" tanya Karto.
Sutrisno menjatuhkan rokok, lalu meginjaknya. "Kamu sudah dengar sendiri, kan, kalau ada salah satu anggota penting kami mati?" Karto mulai was-was pada pertanyaan dari Sutrisno.
"Dan kamu orang yang akan menempati posisinya si Yono," lanjut Sutrisno lugas.
Sudah Karto duga. Ia diam sejenak, memikirkan apa yang harus ia katakan untuk menjadi jawabannya.
Karto menarik napasnya dalam-dalam. "Kenapa kamu pilih aku? Aku hanya preman pasar kelas teri biasa, No. Masih banyak orang lain yang kepengen duduk di posisi itu." Karto menyikapi dengan baik.
"Sudahlah, To, terima saja, tidak usah berbelit-belit begitu," cetus Sutrisno.
"Lah, aku hanya ingin tahu saja. Pie toh?"
"Jadi kamu mau atau tidak?" tanya Sutrisno tidak sabaran.
"Kalau jawabanku tidak, kamu mau apakan aku?" Tidak mungkin bagi seorang kriminal untuk melepaskan targetnya begitu saja. Karto pasti sudah masuk ke dalam ruang lingkupnya tanpa ia tahu.
Tangan Sutrisno merogoh saku celana, lalu menampakkan sedikit benda tajam di sana. Pisau. Netra Karto menatap pisau yang ada di dalam saku celana sutrisno dengan tegang. Tidak mungkin Sutrisno tega melukai temannya sendiri, 'kan?
Karto terkekeh, "Baru kemarin kamu nasihatin aku tentang si Kasih, sekarang kamu mau bunuh aku?" Kepala Karto menggeleng heran.
Sutrisno langsung memasukkan pisau itu cepat ke dalam sakunya lagi. Ia menyengir dan terkekeh pelan. "Hanya bercanda, Karto," kekehnya.
"Jadi apa jawabanmu?" lanjut Sutrisno menatap intens Karto.
Terdengar hembusan napas pasrah dari Karto. "Sakarepmu."
Jawaban dari Karto sukses membuat senyum Sutriso mengembang. Sutrisno mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Sekejap suara berisik yang memenuhi ruangan itu kini senyap. Karto tahu posisi Sutrisno dalam geng kriminal ini tinggi, tetapi ia tidak menyangka semua anggotanya tampak patuh pada Sutrisno. Apa menjadi bagian dari geng kriminal merupakan langkah yang tepat bagi Karto?