Orang jahat memang pantas mati, tetapi tidak perlu dihakimi, apalagi sampai putus tali.
Usai bel sekolah, Arip, Kasih dan Juna bergegas menaiki sepedanya masing-masing. Kasih berboncengan dengan Arip yang memiliki jok belakang. Mereka mulai menyusuri jalanan melintasi perkebunan milik warga. Tanjakan dan turunan mereka lewati dengan sedikit tawaan. Jalan yang tadi pagi ramai karena seorang mayat, kini terlihat sepi.
"Kira-kira jalan yang tadi, bakal jadi angker tidak, ya?" celetuk Arip di tengah perjalanan.
Lantas Juna mengangguk. "Nanti mayat itu bakal menghantui kamu," timpal Juna yang diberi tawa Kasih.
Arip memasang wajah geramnya. "Kok, aku?"
"Iya, lah, kan, kamu tadi yang pegang suratnya," sahut Kasih ikut menggoda Arip.
"Kasih, kok, kamu jadi ikut-ikutan, sih!" ujar Arip tak terima.
Kasih tertawa menanggapi. Walau dirinya tegang sekarang, berkat kedua temannya, hatinya kian sedikit menghangat.
Setelah sampai pasar, mereka memperhatikan sekitar. Banyak kendaraan dan orang-orang berlalu lalang. Ramai. Dengan hati-hati mereka melintasinya. Menyusuri keramaian di pasar. Melewati bau-bau yang berbagai macam. Bau ikan asin menyeruak masuk ke hidung Juna, lantas ia menutup hidungnya dengan tangan. Juna tidak biasa pergi ke pasar. Sontak Arip mencibir Juna yang berasal dari kota itu.
"Golek opo neng kene? Cepet bali ngomah! Ngko wong tuo kalian khawatir! (Cari apa di sini? Cepat pulang ke rumah! Nanti orang tua kalian khawatir!)," ucap seorang wanita paruh baya yang membawa barang belanjaan, lalu melenggang pergi.
Karena mereka masih menggunakan seragam sekolah, mereka terus diberhentikan oleh warga untuk segera pulang ke rumah.
"Benar kata orang-orang, lebih baik kita pulang saja dulu. Ganti pakaian, lalu ke pasar lagi," saran Juna.
Kasih menggeleng kuat. "Kita udah sampai sini, lho. Pasar itu lumayan jauh, nanti capek kalian kalau harus bolak-balik."
Arip pun dibuat bingung. "Udah, lah, Jun. Kasih itu keras kepala. Kita cari saja dulu bapaknya, kalau benar preman, kamu jangan sakit hati, ya, Kasih." Ucapan Arip sedikit menyakiti hatinya. Tetapi benar, ia memang keras kepala. Jika benar bapaknya preman, tidak menjamin membuat hatinya tidak sakit.
Arip dan Juna mulai kembali mengayuh sepeda. Sampai terlihat ada keributan di depan, mereka menyusulinya. Terlihat ada salah satu pedagang yang ketakutan. Dagangnya bahkan sudah tak tertata rapi. Terlihat dua orang yang tampak seperti preman, mempunyai codet di wajahnya, sedang meminta uang pada pedagang secara paksa.
"Itu bapakmu?" tanya Juna.
Kasih terus mengamati dengan saksama, lalu menggeleng. "Bukan. Bapakku nggak punya codet," ujarnya.
Tampak Arip yang terlihat marah. Wajahnya memerah dan tangannya mengepal. Ia lantas turun dari sepedanya asal. Untung ada Kasih yang sigap memegangnya.
Kedua tangan Arip menenteng menandakan bahwa lelaki kecil berbadan besar itu tengah marah. Kejadian itu mengingatkan dirinya tentang si perampok.
"Loh, Arip? Jangan macam-macam, Rip!" peringat Juna.