Apa yang harus aku lakukan supaya rasa benci itu luntur digantikan menjadi rasa sayangnya yang sepanjang masa? Aku juga ingin rasanya dipeluk oleh orang tercinta, Bapak ....
Di tengah malam yang dingin dan hanya ditemani suara serangga kecil malam, Juna terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Lantas beranjak dari ranjangnya, berlari menuju kama mandi untuk menuntaskan hajatnya. Setelah selesai, ia keluar dari kamar mandi sambil menguap. Berjalan pelan menuju kamar. Tetapi langkahnya terhenti kala melihat banyak kertas berserakan di ruang tamu. Atensinya mengarah ke kertas itu. Ia menyipitkan matanya, lalu melangkah pelan.
Dipegangnya dan dibacanya surat itu. "Surat pernyataan preman dan gali Yogyakarta?" gumamnya.
"Apa itu gali?" monolog Juna.
"Belum tidur?" Suara sang ayah dari belakang mengagetkan Juna, sontak langsung menaruh surat-surat itu asal, lalu Juna menghadap ke belakang dan menyengir.
"Tadi Juna abis buang air kecil," ucapnya.
Damar mengangguk paham, lalu menduduki sofa sambil mengembuskan napasnya yang terdengar lelah. Ia memijat pelipisnya pening, lalu mengusap wajahnya gusar. Juna hanya memandanginya dengan tanda tanya.
"Bagaimana dengan sekolah barumu? Nyaman?" tanya Damar.
Juna mengangguk. "Nyaman, Juna suka."
"Baguslah, itu pasti karena teman-temanmu yang bernama Kasih dan Arip, 'kan?" Juna kembali mengangguk.
"Kami bahkan membuat geng, lho, namanya Jurika," ucap Juna bangga.
"Awas nanti diburu." Perkataan Damar membuat Juna terdiam.
Damar menjawil hidung Juna gemas. "Diburu sama Ayah, soalnya Ayah ingin masuk Jurika juga. Nanti namanya ganti menjadi Jurikamar," candanya seraya terkekeh pelan.
Juna ikut terkekeh mendengarnya. Ia kembali melihat Damar yang sibuk berkutat dengan surat-surat itu.
"Memang Jurika tugasnya ngapain aja?" tanya Damar.
"Bermain, belajar dan ... memecahkan teka-teki," jawab Juna lugas.
"Cool, teka-teki apa?" Damar kembali bertanya tanpa melihat Juna—sibuk dengan surat-surat.
"Teka-teki pembunuhan. Jurika sedang mencari siapa pembunuh yang meresahkan warga akhir-akhir ini. Ayah tahu? Banyak sekali mayat yang kondisinya mengenaskan. Juna sampai muntah melihatnya." Tepat saat Juna mengatakan tentang pembunuhan dengan wajahnya yang polos, Damar yang tadinya fokus berkutat dengan surat, kini langsung menatap Juna dengan khidmat.
"Jadi sudah sampai mana teka-teki itu?" Damar menjadi penasaran dengan detektif cilik ini.