Bapak Bukan Preman!

Siti Latifah
Chapter #10

Chapter 9 - Penyerangan Pertama

Semua orang di dunia mempunyai peranannya masing-masing, kecuali si mulut penggosip yang hanya ingin terlihat tinggi di depan orang lain


Berita tentang penembak misterius atau yang biasa disebut Petrus, sudah menyebar luas ke penjuru daerah. Di radio, koran, majalah, semuanya berisikan waspada terhadap Petrus. Karena bukan para preman saja yang diincar, bahkan Petrus kerap salah sasaran. Tidak dapat dipungkiri, operasi untuk memberantas angka kriminal ini, telah membuat banyak preman jera akan perbuatannya. Dan benar saja, setelah diadakannya operasi ini, angka kriminal di Indonesia semakin menurun drastis. Masyarakat bersuka cita karena mereka tidak perlu lagi waspada terhadap tindak kejahatan yang tadinya sudah merajalela di negeri ini.

Para kriminal berbondong-bondong menyerahkan diri. Takut-takut akan ditembak mati. Ada pun yang pergi ke pesantren untuk bertaubat dan menjadikannya tempat untuk berlindung diri. Bahkan ada pula yang nekat untuk menghapus tato menggunakan setrika. Karena saking takutnya.

Saat ini, semua anggota tampak hadir di acara pemakaman seorang pemimpin atau ketua dari geng kriminal di Yogyakarta. Tanpa mereka sadari, ada beberapa mata-mata yang pasti terselip di antara banyaknya kriminal yang sekarang tengah hadir dalam ketakutan.

"Gali di desa sebelah dibantai habis oleh Garnisun."

"Ck, makin rumit saja. Nanti kalau kita menyerahkan diri ujungnya pasti akan mati."

"Tetanggaku, mentang-mentang punya tato, langsung dieksekusi tanpa peradilan."

Berbagai bisikan terdengar sana-sini. Ada yang marah, kesal, dendam, semuanya bagai tumpukan sampah. Perasaan itu membuat para gali atau yang dikenal preman menjadi buta hati.

"Petrus bajingan! Nopo ora sisan wae koruptor di dor pati! (Petrus bajingan! Kenapa tidak sekalian saja di dor mati!)" berang Sutrisno sambil menyesap rokoknya, lalu asapnya menyeruak keluar dari rongga hidung juga mulutnya. Pun, ia terbatuk.

"No, aku punya perasaan nggak enak," bisik Karto pada Sutrisno.

Mata Karto was-was melirik ke segala arah. Sutrisno yang sadar, lantas mematikan rokok dengan menginjaknya ke tanah. "Kita pulang saja kalau begitu," bisiknya.

Karto mengangguk, kemudian Sutrisno melangkah menuju parkiran, diikuti Karto di belakangnya. Dengan cepat Sutrisno menyalakan mesin motornya, lalu menoleh ke arah belakang tepatnya ke Karto. "Aku nggak yakin kita pulang ke rumah dalam keadaan selamat," kata Sutrisno sambil menepuk-nepuk pundak Karto pelan.

"Jangan drama di sini, Sutrisno. Kamu yang menyeret aku ke dalam geng kriminal ini," cetus Karto sedikit kesal.

Lantas Sutrisno terkekeh pelan. "Kamu itu preman pasar, Karto. Sudah pasti akan diincar juga." Sutrisno menggelengkan kepalanya, lalu menaiki motor bekennya, diikuti Karto yang bonceng di jok motor belakangnya.

Motor Sutrisno mulai berjalan menuju jalan utama. Perjalanan tampak baik seperti biasanya. Membuat Sutrisno dan Karto mengembuskan napasnya lega. Ketenangan itu tidak berlangsung lama, saat Sutrisno dan Karto sedang asyik berbincang, tiba-tiba saja ada pengendara motor lain yang hendak mencelakai mereka menggunakan parang. Untungnya, Sutrisno dan Karto dengan cepat menghindar, kemudian Sutrisno menambah kecepatannya.

Pengendara motor itu berjumlah dua orang. Satu mengendarai, satunya lagi yang ingin mencelakai. Keduanya sama sekali tidak membiarkan wajahnya terlihat. Mulut mereka terkunci rapat tidak berteriak ataupun berceloteh tidak penting. Mereka hanya beraksi yang kemampuannya pun seperti orang terlatih.

"Bajingan!" umpat Sutrisno kembali menambah kecepatan.

Lihat selengkapnya