Bapak Bukan Preman!

Siti Latifah
Chapter #11

Chapter 10 - Membalut Luka

Katanya ayah adalah cinta pertamanya anak perempuan, tetapi rasanya cinta ayahku berbeda dari anak perempuan lainnya


Sumiati tengah membenarkan khimarnya, bersiap untuk pergi bekerja sebagai tukang pijit. Memang tidak seberapa penghasilannya, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Lansia itu lantas keluar kamar, melihat Kasih yang sibuk belajar di samping bapaknya yang sedang tertidur di ranjang.

Sumiati mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Cah Ayu, Kasih ... nggak siap-siap berangkat sekolah?" tanyanya lembut.

Karena mendengar suara Sumiati, Kasih langsung menghentikan pekerjaan menulisnya, lalu menatap Simbahnya itu. Dengan gelengan kepala ia berkata, "Kasih mau jagain Bapak aja di rumah."

Sumiati mengembuskan napasnya pasrah. Ya, jika tidak Kasih yang menjaga, maka siapa lagi? Mengingat dirinya yang kini akan bekerja. Sumiati menganggukkan kepalanya paham. "Yo, wes. Nanti kalau ada orang nggak dikenal ketuk pintu, jangan dibukakan, yo," pesan Sumiati.

Sejujurnya hatinya terasa khawatir. Tetapi mau bagaimana lagi? Sekarang ia hanya bisa menaruh kepercayaan pada gadis kecil yang sudah memikul beban berat. Kasih menjawab dengan anggukan kecil.

"Nanti Mbah bilang ke teman-teman kamu jika bertemu di jalan," kata Sumiati.

"Iya, Mbah, tolong, ya, takutnya mereka malah menunggu."

"Iya, ya, sudah. Mbah pergi, ya, jaga baik-baik bapakmu." Lekas Kasih menyalami tangan yang sudah berkeriput itu, kemudian Sumiati melenggang pergi.

Kini hanya tinggalah dirinya dengan Karto. Kasih melanjutkan aktivitas belajarnya, sambil mengangkat menggoyang-goyangkan kakinya. Terlihat pergerak kecil dari Karto, membuat Kasih menatap bapaknya lekat. Dan benar saja, mata Karto kini terbuka.

"Kasih?" gumam Karto setengah sadar.

Kasih mengerjap, senyumnya mulai terukir di wajah cantiknya. Mungkin bagi anak di luaran sana, ketika bapaknya memangil anak dengan nama, akan bersikap biasa saja. Berbeda dengan Kasih. Entah kenapa ia merasa senang. Seperti ada kupu-kupu yang beterbangan di dalam perutnya.

"Iya, Pak? Kenapa? Bapak mau minum? Makan? Atau buang air kecil?" Rentetan pertanyaan bak kereta api itu keluar dari mulut Kasih.

Terdengar decakan dari mulut Karto. "Aku iso dewek." Pernyataan dari Karto membuat bibir Kasih cemberut.

Karto bangun dari tidurnya dengan ringisan kecil, lalu mulai berjalan ke arah dapur diikuti langkah kecil Kasih dari belakang. Kadang ia merasa ngeri melihat perban yang diikat di lengkan kanan bapaknya itu. Kadang masih mengeluarkan darah. Rasanya ia ingin mencoba memegangnya, tetapi pasti ia akan terkena hantaman.

Kasih melihat bapaknya yang tengah meneguk segelas air dengan menggunakan tangan kirinya. Ketika Karto membalikkan badannya, ia terkejut akan kehadiran Kasih yang menatapnya dengan tatapan polos. Karto hanya melengos. Merasa diabaikan, Kasih kemudian mengikuti lagi langkah Karto.

Karto tampak kesal, terlihat dari raut wajahnya. "Kenapa tidak berangkat sekolah saja?" cetus Karto.

"Kasih mau menjaga Bapak."

"Tidak usah."

"Kenap-"

Lihat selengkapnya