Luka yang terhebat ternyata dari orang yang terdekat
Setelah Kasih yang mengobati luka bapaknya, kini giliran Kasih yang diobati. Tetapi dengan Juna, bukan bapaknya. Tetapi diperhatikan sejak tadi, Juna terus menatap luka Kasih dengan tatapan ngeri, berkali-kali mengembuskan napas, berkali-kali meneguk saliva dan memejamkan matanya.
"Kamu kalau takut darah bilang aja!" kata Arip kemudian merebut kain basah yang ada di tangan Juna. "Minggir! Biar aku yang obatin luka Kasih," usir Arip pada Juna.
"Maaf, aku kira kalau lukanya tidak besar seperti mayat-mayat di sana aku tidak takut," ucapnya sambil menggaruk kepala, lalu menyengir kuda.
Arip dengan telaten mengobati luka Kasih. Setelah dirasa darah tidak keluar, ia menggaruk kepalanya. "Mau pakai perban?" tanyanya.
"Nggak us—"
"Pakai, dong! Itu luka kamu panjang, kalau nggak sepanjang itu juga bisa pakai plester luka," potong Juna.
Arip mengangguk. "Perbannya ada di dalam, Jun. Ambil gih, malas banget aku lihat muka bapaknya Kasih."
"Arip ...." Kasih menatap Arip tajam.
"Iyo, iyo, maap," kata Arip dengan wajah malas.
Juna terkikik geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Segera ia izin ke Kasih untuk memasuki rumahnya. Ia berjalan ke arah dapur, melihat perban yang ada di atas meja, juga melihat Karto yang membelakanginya sedang duduk di sebelah meja itu.
Ada rasa tidak enak pada Karto, tetapi ia hanya ingin mengambil perban. Saat tangannya meraih perban dengan hati-hati, ia tidak sengaja. mendengar gumaman Karto.
"Dewi ... aku ala mbanget, yo, karo anak dewek? Aku pancen Bapak sing durhaka (Dewi ... aku jahat sekali, ya, sama anak sendiri? Aku memang Bapak yang durhaka)," ucapnya lirih.
Apa tidak apa-apa Juna mendengar keluh kesah ini? Ia sangat penasaran.
Terdengar embusan napas berat dari Karto. "Aku yo ra pingin koyo ngene, tapi pas ndelok raine podo koyo kowe, aku dadi kelingan kowe, Dew. Kelingan kowe ninggal gora-gora ngelairke Kasih. Nek waktu iso dibaleni meneh, aku ra pingin duwe anak nek mengko kowe ninggalke aku, Dew (Aku juga nggak mau kayak gini, tapi pas melihat wajahnya mirip kamu, aku jadi teringat kamu, Dew. Teringat kamu meninggal gara-gara melahirkan Kasih. Kalau waktu bisa diulang kembali, aku nggak pengen punya anak kalau ujung-ujungnya kamu ninggalin aku, Dew)."
Walaupun bukan orang Jawa, Juna mengerti apa yang dikatakan Karto. Karena ia juga mempelajari bahasa Jawa. Entah siapa yang harus disalahkan. Cinta Karto pada istrinya memang patut diacungi jempol. Tetapi bukan berarti bisa menjadi alasan Karto untuk membenci Kasih, bukan? Kasih juga pasti sama sakitnya seperti Karto.
Juna memilih untuk meninggalkan Karto yang sedang merenung. Ia kembali ke Arip dan Kasih yang berada di teras rumah dengan membawa perban.
"Lama sekali! Kamu ambil perban di mana? Di Merauke?" kata Arip sedikit kesal.
Juna hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari menyengir kuda.
Setelahnya, Arip mulai membalut luka di kaki Kasih. Ia asal membalut yang penting terbalut rapi. Setelah selesai, ia tampak bangga dengan dirinya karena telah berhasil membalut luka.