Irinya seorang manusia, jika tidak tentang keluarga, maka tentang ekonomi
Setelah beberapa menit bersepeda, akhirnya tiga sekawan itu sampai di rumah Juna. Rumahnya terlihat mewah dengan arsitektur modern. Tidak seperti rumah Kasih dan Arip yang rumah panggung. Di depannya terpampang pagar besi berwarna hitam. Dindingnya bercat putih mulus.
"Bagus, ya, rumah kamu, Jun!" puji Kasih.
"Bukan rumah aku, ini rumah orang tuaku," balas Juna sekenanya yang ditatap sinis oleh Arip. Ia tahu, ini bukan rumah milik Juna sepenuhnya, tetapi Juna adalah anak kandung orang tuanya, jadi apa salahnya tinggal mengakui ini rumahnya?
Juna menyambut Kasih dan Arip, kemudian menyuruh mereka untuk masuk ke rumahnya setelah pagarnya ia geser dan terbuka. Kasih dan Arip bertatap-tatapan kemudian mengangguk. Mereka mulai berjalan mengikuti arah langkah Juna.
"Orang tuaku lagi nggak ada di rumah. Jadi tenang aja, kalian bisa leluasa," kata Juna.
"Pergi ke mana?" tanya Kasih yang dijawab Juna dengan mengangkat bahunya.
Setelah sampai di ruang tamu, Juna mempersilakan Kasih dan Arip untuk duduk, sementara dirinya akan mengganti pakaian sejenak di kamar. Arip dengan tidak tahu dirinya langsung menghamburkan pantatnya sembarangan di sofa. Kasih yang melihat hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Kasih berkeliling melihat-lihat barang-barang yang tertata rapi di meja-meja. Ada pigura, vas bunga dan printilan mewah lainnya. Kasih menatap satu per satu sampai kemudian ia melihat figura yang berisi keluarga lengkap Juna. Di situ Juna masih seperti menduduki bangku Pendidikan Anak Usia Dini, dengan ibunya di sebelahnya yang tengah tersenyum senang, juga ayahnya yang mengangkat Juna yang senyumnya sama menggembirakan. Aneh jika Kasih tidak iri, bukan?
"Juna beruntung banget ... punya keluarga lengkap dan ekonomi yang bagus," gumam Kasih sambil terus memegangi pigura itu.
"Kira-kira bapaknya Juna kerja apa, ya, punya rumah segede gaban begini?" celetuk Arip mengangetkan Kasih. Untung pigura yang dipegang Kasih tidak sampai jatuh ke lantai.
"Kalau mau ajak ngobrol itu panggil nama dulu, dong! Kerjaanmu ngagetin orang mulu!" kesal Kasih.
"Yo, maap." Arip hanya menyengir tidak merasa bersalah.
Juna keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian. Kini ia memakai kaos berwarna kuning dengan kerah dan memakai celana pendek berwarna hitam tampak elegan. Padahal memakai pakaian simpel, tetapi bisa terlihat mewah bila dipakai oleh orang yang tepat.
Memang, ya, aura orang kaya tidak bisa berbohong, celetuk Arip dalam hati.
"Kenapa lihat-lihat? Ada yang aneh?" tanya Juna ketika ia dipandang terus oleh Kasih dan Arip.
"Ya, kan, kami punya mata," sahut Arip.
"Tapi pandanganmu nggak biasa!"
"Udah, ih! Nggak di mana-mana kalian itu ribut terus! Capek aku lihatnya!" kesal Kasih menatap sinis ke arah Juna dan Arip.