Nyatanya, lidah lebih tajam dibandingkan pisau
Tidak terasa hari ini adalah hari terakhir ujian semester yang Kasih dan teman-temannya lalui. Saat ini Kasih dan yang lainnya tengah menikmati bekal yang dibawa Juna di depan kelas, tepatnya duduk di tangga. Juna menawarkan bekal buatan bundanya untuk Arip dan Kasih sesuai dengan perkataan bundanya pagi tadi. Bundanya berpesan bagikan bekal ini ke kedua teman Juna.
Mereka tengah bercakap ria sambil memakan bekal. Sementara Juna tengah asyik melamun dengan memandang langit biru. Juna masij berpikir, sampai kapan ia harus menyembunyikan status atau pekerjaan ayahnya sebagai anggota dari Garnisun?
"Juna!" panggil Arip mengejutkan Juna.
"Melamun saja, lagi mikirin apa, sih?" goda Arip sambil memakan sesuap bekal.
"Lagi mikirin konspirasi bumi datar," cetus Juna asal.
"Orang mah, mikirin, tuh, duit. Ini malah konspirasi. Oh, iya, aku lupa, kamu kan, udah kaya, jadi nggak perlu mikirin kondisi ekonomi keluarga."
"Kamu iri sama aku, begitu maksudmu?" sahut Juna.
"Coba saja pikir pakai otakmu yang cerdas itu! Anak mana yang nggak iri melihat keluarga temannya yang lengkap dan kondisi ekonominya yang bagus!" lontar Arip tidak mau kalah.
Kasih mengembuskan napasnya lelah. Kenapa dari awal bertemu, Arip dan Juna selalu saja bertengkar? Apalagi, sama-sama tidak mau mengalah. Kondisi seperti inilah yang membuat Kasih malas.
Juna memandang remeh Arip. "Sebegitu irinya kamu padaku? Dasar orang susah, hanya bisa berkata! Kalau mau kaya, ya, berusaha!" Juna makin tersulut emosi.
Arip berdiri dari duduknya. Ia menunjuk-nunjuk Juna dengan jari telunjuknya. "Kamu bilang aku orang susah? Oke, aku terima! Aku emang susah dalam hal ekonomi, tapi nggak seperti kamu yang susah dalam hal pertemanan!"
"Memangnya apa gunanya teman? Aku bebas mau punya atau tidak! Yang terpenting dalam hidup itu uang! Kamu yang anak rendahan nggak akan paham!" balas Juna.
"Terus aku sama Kasih apa bagimu, Jun? Kata-katamu itu udah keterlaluan, ya! Mentang-mentang orang kaya, seenaknya saja ngomong!" bengis Arip, lalu meninju Juna sampai tersungkur karena amarah yang sudah meluap. Napas Arip naik-turun dan matanya menatap tajam Juna.
"Udah, udah! Kok, kalian malah ribut? Jangan diperpan—"
"Kalau begitu kalian bukan temanku lagi!" potong Juna cepat, kemudian ia berdiri menatap tajam satu per satu temannya. "Udah cukup aku bersabar sama tindakan dan ucapan kamu, Rip! Aku juga gini gara-gara permasalahan kalian tentang preman menjijikan! Harusnya aku hidup tenang, nggak mikirin masalah Petrus! Seharusnya aku emang nggak berteman sama orang rendahan! cemoohnya.
"Juna!" seloroh Kasih menatap tak percaya pada perkataan Juna barusan.
"Apa? Bapakmu itu cuma bisa nyusahin orang-orang tahu, nggak! Bapakmu itu nggak bakalan bisa menghindar dari kejaran Garnisun!" bengisnya, kemudian pergi dari hadapan Arip dan Kasih.
"Aku benci kalian semua! Kalian nggak pernah menghargai usaha aku!" Itu adalah kata-kata terakhir Juna sebelum benar-benar meninggalkan Arip dan Kasih.
Kasih menatap kepergian Juna penuh luka. Perkataan Juna tentang bapaknya benar-benar menyakiti hatinya. Ia tak menyangka jika Juna akan berkata seperti itu. Kasih mengepalkan tangannya erat.
"Aku kecewa sama Juna," lirihnya.
Arip merasa ia adalah dalang dari masalah ini. Ia merasa bersalah. Mulutnya memang tidak bisa dikontrol dan ia benci itu. Jika ia bisa bersabar sedikit saja, Juna tidak mungkin berkata yang menyakiti hati Kasih.
"Kasih ... maaf—"
Belum Arip menuntaskan ucapannya, Kasih lebih dulu berlari masuk ke dalam kelas. Dan Arip makin merasa bersalah. Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi.