Penggosip lebih mirip seorang preman ketimbang preman itu sendiri, mereka yang bergosip dan menyindir sana-sini terlihat seperti orang munafik yang haus akan pusat perhatian, yang terlihat tidak lebih dari seorang bajingan
Setelah ujian akhir semester telah usai, libur panjang pun dimulai. Tidak banyak yang Kasih lakukan saat liburan. Hanya membantu Sumiati membuat adonan kue untuk dijualkan. Atau paling tidak, mengantarkan kue-kue ke tetangga yang membelinya. Tampaknya menjadi tukang urut, sangat berat bagi Sumiati. Karena usianya yang sudah senja, tenaganya pun tak lagi kuat. Maka darinya, Sumiati memilih untuk berganti pekerjaannya menjadi jualan kue kering. Kadang ia memperdagangkannya ke pasar, ataupun berjualan berkeliling di jalanan. Syukur-syukur ada pesanan.
"Cah Ayu," panggil Sumiati dari arah dapur.
Kasih yang saat itu sedang membuka beberapa lembar buku pelajaran, terpaksa dihentikan karena panggilan dari Simbahnya yang tersayang. Bergegas ia pergi ke dapur untuk memenuhi panggilan.
"Kenapa, Mbah?" tanya Kasih sambil memandang Sumiati yang sedang mengukus kue-kue menggunakan pawon.
"Tolong antarkan kue-kue yang di atas meja ke rumahnya ibu Laksmi. Hanya berbeda Rt," titah Sumiati.
Kasih memandang kue-kue yang sudah dibungkus rapi dengan plastik di atas meja. Tak lama ia mengangguk. "Baik, Mbah!" katanya kemudian mengambil kue-kue itu.
"Kamu tahu, kan, rumahnya? Dekat dengan rumah Ibu Rita."
Kasih mengangguk. Tentu ia tahu. Karena ibu Laksmi adalah ibu dari Arip.
"Baguslah, kalau begitu hati-hati di jalan."
Dengan segera Kasih berpamitan kepada Sumiati dan bergegas menuju rumah Arip. Sebelum keluar dari rumahnya, ia lebih dulu mencari keberadaan bapaknya yang sedari tadi belum ia lihat batang hidungnya. Saat melihat keluar, ia melihat sebuah tangga di depan rumahnya, lalu Kasih berlari kecil menuju tangga itu.
Matanya melihat ke arah atap rumah dan barulah ia bertemu bapaknya. Rupanya Karto tengah membenahi genting yang bocor semalam. Lengannya sudah sembuh total dan tidak lagi mengeluarkan darah. Bahkan tidak ada lagi orang misterius yang Kasih pernah lihat.
Ia tersenyum ke arah Karto. "Hati-hati Pak, licin!" seru Kasih dari bawah.
Karto yang mendengar suara anaknya, lantas menengok ke arah bawah mendapati Kasih yang tengah memandangnya tersenyum seraya menenteng plastik berisi kue.
"Jangan di situ! Nanti ketiban genting!" peringat Karto.
"Kan, nanti ada Bapak yang lindungi Kasih kalau ada genting yang jatuh!" sahut Kasih masih dengan senyumannya.
"Nggak ada yang mau lindungi kamu!" lontar Karto sambil mencoba membenahi genting.
Kasih mencebik kesal, lalu kembali tersenyum. "Ya, udah, nggak papa, nanti biar Kasih yang lindungi Bapak!" Kasih memberikan satu jempolnya, sementata Karto hanya mengembuskan napas berat sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah.
"Kasih pamit mau anterin kue buatan Simbah ke rumah pelanggan!" pamit Kasih.
"Iya!" jawab Karto tanpa melihat ke arah Kasih, membuatnya menjadi cemberut.
"Kasih sayang Bapak! Kasih pergi dulu, ya!"
Hanya suara dehaman kecil yang Kasih dengar, kemudian Kasih berbalik badan dan mulai melangkah keluar dari pekarangan rumahnya. Dengan berjalan kaki, ia melewati sawah dan rumah warga seorang diri. Cuacanya terik karena masih siang hari, membuat peluh bercucuran di kening Kasih.
Ia melihat banyak anak lelaki yang bermain layang-layang di tengah teriknya panas matahari. Kadang ia tidak habis pikir oleh mereka yang bermain saat panas begini.
Hingga sampailah Kasih di rumah Laksmi yang tampak sepi. Ia mengetuk pintu perlahan sambil menyebut nama Laksmi. Tetapi tidak ada sahutan. Jika ia kembali lagi ke rumah, kasihan Simbah nanti tidak dapat uang.
Kasih pun lebih memilih menunggu di depan rumah Arip. Menikmati angin sepoi-sepoi, sampai membuatnya terkantuk karena semilir angin yang menyejukkan raga.