Sebaik-baiknya teman adalah yang saling memaafkan bukan memanfaatkan
Sesampainya di depan rumah Juna, Maria mempersilakan Arip dan Kasih masuk. Ia meminta kepada mereka untuk menjaga Juna. Karena dirinya tengah dikejar waktu sekarang, Maria jadi tidak bisa mengecek keadaan Juna. Ia hanya menaruh rapor, lalu pergi begitu saja dengan mengendarai mobilnya.
Kini tinggalah Arip dan Kasih yang sedang bingung barus berkata apa ketika bertemu Juna nanti.
Arip menatap sekeliling ruangan megah yang terkesan sepi itu. Walaupun Arip hanya tinggal berdua di rumah kecilnya, tetapi tidak sesepi rumah megah milik Juna. Begitu juga yang dirasakan Kasih.
Kasih paham sekarang. Rumah yang megah dan keluarga yang lengkap, serta perekonomian yang di atas rata-rata, rupanya tidak menjamin kebahagiaann. Selama ini, Juna tidak pernah menceritakan orang tuanya yang selalu sibuk bekerja, sehingga rumahnya menjadi sepi. Entah seberapa kesepiannya Juna setiap hari memandang rumahnya dengan penuh kesedihan.
Kasih dan Arip mengintip ke kamar Juna. Melihat Juna yang tengah tertidur sembari terbatuk kecil. Kasih dan Arip saling memandang hingga sampai akhirnya mereka lebih memilih masuk ke dalam kamar Juna. Kasih menatap iba ke arah Juna yang tengah terkapar lemas di tempat tidurnya itu. Tangannya terulur memeriksa kening Juna.
"Panas," kata Kasih setelah mengecek kening Juna.
Arip mengembuskan napasnya berat. "Salah aku selalu ngomong sembarangan tanpa perhatiin perasaan orang. Kasih, kamu pasti pernah juga, kan, sakit hati karena omonganku?"
Kasih mendelik sebentar ke arah Arip, lalu mengangguk. Kasih tidak ingin berbohong, tentu ia pernah sakit hati dengan perkataan Arip yang ceplas-ceplos tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Lagi. Arip mengembuskan napasnya berat. "Susah ilangin sifat aku yang suka ngomong ceplas-ceplos ini."
"Itu tergantung niatmu," sahut Kasih yang makin membuat perasaan Arip tidak enak.
Juna terbangun karena mendengar suara bising. Biasanya kamarnya selalu tenang tanpa suara. Lenggang. Tetapi kenapa sekarang malah terdengar ribut? Atau karena dirinya sedang sakit jadi berhalusinasi?
Ternyata tidak. Juna dapat melihat jelas kedua temannya yang kini sedang berada di dalam kamarnya. "Ngapain kalian ke sini?" cetus Juna lemas. Matanya sayup-sayup memperhatikan.
Walaupun Kasih masih merasa kesal dengan perkataan Juna yang menyakiti hatinya, namun melihat Juna yang sekarang, ia lebih merasa sakit. Ia teringat pada awal mereka bertemu, bermain dan memecahkan teka-teki bersama. Membuat hatinya kian mengikat dan menjadi rantai pertemanan yang abadi. Hanya ada euforia. Tidak untuk nestapa.
"Aku sama Arip mau jagain kamu," jawab Kasih.
Juna terbatuk, kemudian terkekeh pelan dengan nada meremehkan. "Untuk apa? Kita bukan lagi teman. Lebih baik kalian pergi, aku tambah sakit kalau melihat kalian," lontar Juna.
Arip yang mudah terulut emosi itu kini tampak menahan emosinya agar tidak keluar dan menimbulkan masalah baru.
Kasih menatap Juna tajam membuat orang yang ditatapnya merasa segan. "Kenapa? Kamu iri juga dengan pencapainku? Karena aku udah menggeser posisi kamu yang selalu menjadi juara satu?"
Kasih menautkan kedua alisnya. Bukannya Juna belum mengetahui hasil peringkatnya? Pun, bundanya sudah pergi lebih dulu tanpa memberitahukan informasi mengenai peringkat kepada Juna. Sampai kemudian Kasih paham. Mungkin saja Juna memiliki intuisi yang bagus. Firasatnya selalu tepat sasaran.
"Kalau lihat raut wajah kamu berarti benar aku juara satu." Cetusan dari Juna membuat Kasih sedikit terkejut. Berarti benar apa yang ada dipikirannya, Juna memiliki kemampuan perhitungan yang bagus.
Kasih mengembuskan napasnya cepat, lalu mengambil baskom yang berisi air hangat juga kain dari atas nakas. "Iya, kamu genius! Sekarang kamu diam, istirahat dan tidur saja! Jangan pikirkan apapun dulu, karena ada aku dan Arip yang akan menjagamu!" kata Kasih sambil menaruh kain basah ke atas kening Juna yang panas.
"A-apa—"
"Diam! Jangan banyak bicara! Jawab aja apa yang aku tanyakan, oke?" Juna hanya bisa mengangguk.