Nestapa kini hadir dan merenggut. Harapannya pupus dan redup. Yang diharapkannya sekarang, hanya kepulangannya dengan jiwa dan raga yang masih hidup
Kasih telah sampai di rumah berkat Maria yang mengantarnya menggunakan mobil. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dengan kesal. Ia akan memarahi bapaknya habis-habisan karena telah melanggar janji untuk mengambil rapornya di sekolah.
Kasih terus meneriaki nama bapaknya, tetapi tak kunjung disahut. Sampai Sumiati keluar dan bertanya pada cucunya yang terlihat kesal.
"Bapak nggak datang ke sekolahku, Mbah!" adu Kasih sambil memanyunkan bibirnya lucu.
Mendengar penuturan Kasih membuat Sumiati mengerutkan keningnya bingung. "Bapakmu tadi pagi sudah pergi untuk mengambil rapormu di sekolah, Nduk. Mbah sudah melihatnya sendiri bapakmu berkemas rapi dan pergi dari rumah. Bahkan Mbah membuat masakan sedari pagi untuk kalian berdua pulang setelah mengambil rapormu," jelas Sumiati.
Seketika perasaan kecewa itu meluruh digantikan perasaan khawatir yang berkecamuk. "Jadi dari tadi bapak belum pulang?" Sumiati mengangguk menjawab pertanyaan dari Kasih.
Kasih mendadak lemas. Ia menatap ke depan dengan tatapan kosong. Pikirannya melanglang buana entah ke mana. Ini salahnya karena memaksa Karto untuk mengambil rapornya. Ini salahnya karena meminta bapaknya untuk pergi ke sekolahnya. Ini salahnya. Ini murni kesalahan—
"Sudah, sudah. Kita berpositif dulu, mungkin saja bapakmu memang ada keperluan mendadak, toh? Entah itu pergi ke rumah temannya atau—"
"Bapak nggak seperti itu, Mbah. Mbah tahu sendiri, 'kan? Terlebih teman yang paling dekat sama bapak cuma Om Sutrisno doang. Bapak nggak punya teman dekat lagi selain dia, Mbah," seloroh Kasih memotong perkataan Sumiati.
Matanya kini sudah berkaca-kaca, lalu melihat ke luar rumah menyuguhakan langit senja yang indah. Hatinya bergemuruh ketakutan. Pikirannya berisik. Gadis kecil itu tidak tahu lagi harus berbuat apa.
"Ini pasti ulah Petrus," gumam Kasih yang dapat di dengar Sumiati.
"Cah Ayu? Kamu tahu dari mana tentang Petrus?" tanya Sumiati terkejut.
Bukannya menjawab pertanyaan dari Sumiati, Kasih malah berdiri dan langsung lari ke luar rumah, membuat Sumiati meneriaki Kasih. Dirinya hendak mengejar, tetapi langkahnya yang sudah senja menghalanginya untuk mengejar sang cucu yang kini sudah jauh dari pandangannya.
Jantung Sumiati berdetak tak karuan. Bahkan matanya menyorotkan nestapa. "Ya, allah ... tolonglah anakku dan cucuku," ucapnya.