Jika sudah tetap pada pendirian, maka semua akan diterjang walau badai sekalipun
Setelah membaringkan tubuh kecil Kasih di ranjang, Sutrisno mengembuskan napasnya perlahan, lalu melangkah ke ruang depan. Di mana semua orang berkumpul kecuali Sumiati yang kini menjaga Kasih. Ada Laksmi, Arip dan Juna yang memandangnya penuh tanya. Bagaimana tidak? Seorang yang sudah dicap meninggal, bahkan sudah diadakan acara tahlilan, kini berada di depan. Kakinya menapak ke tanah dan mulutnya berbicara fasih.
"Aku tahu apa yang ada dipikiran kalian," ucap Sutrisno memejamkan matanya sejenak.
"Aku akan ceritakan—"
"Tunggu sebentar," seloroh Juna memotong ucapan Sutrisno, kemudian menatap intens Sutrisno. "Apa ini ada hubungannya dengan rencana untuk menghindar dari kejaran Petrus?" tanya Juna mengingat pembicaraan antara Karto dan Sutrisno yang dulu tentang pembicaraan mengenai rencana untuk menghindar dari kejaran Petrus.
Awalnya Sutrisno mengatakan ingin menghilangkan jejak dengan kabur dari Yogyakarta, tetapi rencana itu dibantah oleh Karto, lalu Karto memberikan pendapatnya yang katanya rencananya ini akan berhasil menghindari Petrus. Dan Juna berpikir, sepertinya rencana itu ada kaitannya dengan munculnya Sutrisno sekarang.
Sutrisno mengangguk. "Ya, ini ide dari Karto," jawab Sutrisno.
Saat Juna menguping pembicaraan Sutrisno dan Karto dulu, ia tidak dapat mendengar pembicaraan inti mengenai ide yang dikemukakan oleh Karto karena suara ribut dari Arip dan Kasih waktu itu. Menjadikannya sebuah teka-teki untuknya. Jika dipikirkan lebih dalam lagi, saat Sutrisno dinyatakan meninggal, sikap Karto yang sebagai teman dekatnya terlalu dibilang tenang. Karto terlalu tenang menanggapi kematian Sutrisno, membuat Juna heran.
Di persempit lagi, Juna pernah dengar yang memandikan jenazahnya itu hanya keluarganya saja. Proses pemakaman pun berlangsung tanpa air mata dari keluarga.
"Atau jangan-jangan ide Om Karto itu ... suruh Om Sutrisno pura-pura dicap mati?" tebak Juna. Benar, hanya itu yang pas untuk saat ini.
Sutrisno terkejut mendengar tebakan dari seorang Juna Hartono. Lelaki kecil di depannya ini mempunyai otak yang cerdas dan seorang yang cakap.
Tak lama setelah rasa keterkejutannya itu, Sutrisno mengangguk. "Dengan izin dari keluarga aku melakukan ini. Karena dengan rencana inilah yang menguntungkan aku dan keluargaku. Jika seandainya aku pergi dari Jogja dan meninggalkan keluargaku di rumah, pasti akan berbahaya. Dan jika aku mengajak keluargaku pergi bersama, kasihan dengan keluargaku yang harus sembunyi-sembunyi," jelas Sutrisno, kemudian menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya ke udara. "Dan inilah ide paling bagus yang diberi Karto."
Raut wajah Arip tampak dibuat bingung. Ia berpikir, bagaimana reaksi Kasih kalau tahu soal ini, ya?
"Jun," panggil Arip.
Juna menyahut dengan mengangkat satu alisnya.
"Ada yang mau kamu sampaikan nggak ke kami?" tanya Arip mengacu pada sesuatu.
Juna yang paham lantas menatap tajam Arip. Sudah berapa kali ia katakan, ia tidak akan mengatakan tentang ayahnya yang menjabat sebagai tentara itu.
"Nggak ada, Rip," balas Juna yang diberi rotasi bola mata malas dari Arip.