Asaku hanya ingin pulang, tetapi kenapa aku selalu malang? Atau karena dosaku yang bergelimang? Tetapi Tuhan ... aku hanya ingin pulang
Matahari sudah mulai naik ke atas membuat sinarnya memancarkan terik dan panas. Saat ini Karto sedang meminum air di sebuah sungai kecil yang mungkin sudah agak jauh dari luweng. Malam hari sudah terlewat dengan begitu dramatis. Pemuda bernama Romdon itu masih terus terngiang-ngiang di benaknya.
Jika dipikir kembali, ia baru hilang dua hari bukan? Ah, atau tiga hari? Entahlah, Karto menjadi pikun sekarang. Sebentar lagi sebuah pemukiman warga akan terlihat. Tapi Karto lebih memilih beristirahat dulu dengan meminum air di sungai kecil sejenak mengobati rasa hausnya.
Dari balik semak, Karto mendengar ada suara langkah yang menuju ke mari. Kepalanya langsung mendelik dan bersiap untuk kabur bila itu adalah seorang berseragam. Tetapi niat untuk kabur itu hilang menjadi rasa keterkejutan. Netranya membulat sempurna melihat siapa orang yang kini berada di dalam tangkapan penglihatannya. Ya, dia Romdon. Pakaiannya sudah kotor dan compang-camping seperti sudah lama di dalam hutan layaknya seorang tarzan.
"Romdon?" celetuk Karto menatap terkejut Romdon yang ia kira sudah mati tertembak Petrus. Tunggu, Karto benar-benar melihat Romdon mati tertembak walaupun samar-samar karena gelap.
Karto menggeleng kuat, ia menepak pipinya berulang kali. Mungkin saja ia berhalusinasi.
Romdon mengerjap. "Pak?" Matanya menyipit.
"Eh, iya, si Bapak!" seru Romdon kemudian berlari dan memeluk Karto erat dengan senang. Sementara orang yang dipeluk merasa keheranan.
"Bukannya kamu sudah ...." Karto menggantungkan kalimatnya.
Romdon melepas pelukannya, lalu mengelus dadanya sembari menggelengkan kepalanya. "Astaghfirullah, Pak. Sebegitunya sama saya sampai pengen banget saya mati?" cetusnya.
Karto memegang kuat kedua pundak Romdon, tetapi Romdon malah mengadu kesakitan.
"Oh, maaf. Saya lupa dengan luka tembakannya."
"Saya kira, sampean yang tadi kena tembak. Saya sempat sedih tahu, Pak," katanya.
"Saya naik ke atas pohon. Gemetar ketakutan di sana, terus samar-samar saya lihat kamu lari dan tertembak. Jadi saya heran sekarang, kamu beneran masih hidup?" tanya Karto masih tak percaya. Ada kesenangan yang terbesit di hatinya.
Romdon merentangkan tangannya, lalu menghentakkan kaki di tanah. "Saya napak, Pak."
Karena melihat raut wajah Karto yang keheranan, Romdon lantas menarik napasnya—bersiap menceritakan. "Saya jelaskan. Awalnya saya memang lari menghindar dari kejaran Petrus, karena gelap, kaki saya keseleo tersandung batu, lalu masuk jurang yang nggak terlalu curam, tapi tetap saja guling-gulingnya sakit. Makannya baju saya kotor begini. Nah, terus saya mendengar suara tembakan. Saya kira itu sampean. Makannya saya sempat sedih, karena waktu itu teringat cerita sampean yang katanya anak sampean sedang menunggu di rumah," jelasnya panjang lebar.