Menjadi yang pertama bukan harus dengan peringkat pertama, tetapi dengan kehadiranmu saja, pun sudah menjadi yang pertama dalam hati seseorang
Yogyakarta 1985
Mentari pagi bersinar dengan cerah. Cahayanya menusuk mata Kasih yang kini tengah mengikat tali sepatunya bersiap untuk pergi ke sekolah. Karena Kasih sudah memasuki kelas akhir masa sekolah dasar, ia harus lebih rajin lagi agar mendapat nilai tertinggi di kelasnya. Terutama untuk mengalahkan seorang lelaki tampan berkulit kuning langsat yang dijuluki si genius, tak lain adalah teman dekatnya sendiri. Juna Hartono.
"Cah Ayu, belum berangkat sekolah juga?" tanya Sumiati.
"Ini udah mau berangkat, kok, Mbah!"
Karto keluar dari rumah dengan membawa sepeda ontel miliknya yang baru dibenahi setelah beberapa tahun lamanya ia tak lagi memakai sepeda ontel karena mendiang istrinya. Saat sebelum istrinya meninggal, Karto sering sekali membawa istrinya jalan-jalan menggunakan sepeda ontel seraya berbuat romantis di atas jok sepeda.
"Sudah siap?" tanya Karto sambil menggenggam setang sepeda.
Kasih tersenyum, lalu mengangguk. "Siap!" serunya sambil mengeratkan pegangannya pada tas di pundaknya.
Kasih mulai menyalami tangan Sumiati.
Karto melihat tas Kasih yang dari dulu belum sempat diganti. Tas itu sudah sering kali berlubang, lalu dijahit kembali berkali-kali. Jika ia memiliki uang yang cukup, ia berjanji akan membelikan Kasih tas baru.
Kasih menduduki jok belakang sepeda ontel milik bapaknya. Hari ini sedikit berbeda dari hari-hari sebelumnya ketika hendak berangkat ke sekolah. Sekarang ia akan diantar bapaknya menggunakan sepeda ontel peninggalan ibunya.
"Beneran aman, Pak, nanti pulangnya? Kasih takut nanti kejadian itu terjadi lagi," kata Kasih sambil mengingat kejadian tak mengenakkan pasca Karto diculik beberapa tahun silam.
Karto yang berhasil kabur, bukan berarti ia bebas begitu saja dari belenggu sang Petrus yang terus mengintai. Karto masih tetap menjadi buronan Penembak Misterius, maka ia harus benar-benar berhati-hati di setiap langkahnya.
Karto mengacak-acak rambut Kasih gemas. "Percaya sama Bapak, aman, kok," ucapnya.
Kasih mengembuskan napasnya pasrah, lalu tersenyum mengangguk ke arah bapaknya.
"Kasih sama Bapak berangkat dulu, ya, Mbah! Assalamualaikum!" seru Kasih melambaikan tangannya.
"Iyo, hati-hati! Waalaikumsalam!"
Setelahnya, Karto mulai mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Sesekali di setiap perjalanan melewati perkebunan milik warga, diselingi dengan canda tawa. Semilir angin dan awan yang berarak mengikuti setiap langkah, turut menghiasi betapa bahagianya Kasih sekarang.
"Kasih, siap-siap, Nak, pegang pinggang Bapak erat-erat, kita akan meluncur!" seru Karto saat ingin mendekati turunan yang sedikit curam.
"Baik, Pak!" Kasih memegangi kedua pinggang Karto erat.
Karto mengeratkan pegangannya pada setang sepeda, lalu sepedanya mulai meluncur bebas di turunan itu. Karto dan Kasih teriak senang, semilir angin membawa rambut mereka terbang. Setelahnya, Karto dan Kasih tertawa riang saat sudah melewati turunan tersebut.
Saat sepedanya mulai melewati jembatan, terdapat sekumpulan warga yang terlihat ramai di depan. Sontak Karto memelankan laju sepedanya.