Jika kita selalu takut, maka kapan untuk menjadi berani? Dunia yang keras ini akan melahapmu jika kau selalu takut untuk mencoba apapun, setidaknya berusaha, itulah yang terbaik
Karto memberhentikan sepedanya tepat di samping gundukan tanah. Ia turun dari sepedanya, lalu berjalan menuju kuburan seseorang yang berperan penting di kehidupannya setelah istrinya. Tak lain adalah sahabatnya—Sutrisno. Sudah dua tahun silam peristiwa penyelamatan nyawanya yang sahabatnya korbankan untuk Karto. Bayang-bayang Sutrisno masih teringat jelas di pikiran Karto.
Tangan Karto menabur bunga di atas gundukan tanah. "No, sudah dua tahun. Pie kabare? Aku karo Kasih wes bahagia, No. Berkat kowe," ucap Karto menatap sendu gundukan tanah itu.
"Apa di sana kamu bertemu istriku? Kalau iya, sampaikan salamku untuknya." Karto terkekeh pelan.
Tidak terasa, sedikit demi sedikit, orang yang disayang Karto sudah berpulang ke sebaik-baiknya rumah. Ia terus teringat dengan masa SLTA-nya dulu. Betapa bahagianya masa muda. Masa mengejar cita dan cinta. Canda tawa tercipta di setiap jiwa.
Karto memejamkan matanya, mulutnya bergerak merapalkan doa. Tapi kemudian telinganya mendengar suara bising dari balik semak. Karto tidak langsung menengok, ia membuka matanya, lalu melirik ke kanan dan ke kiri tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun. Ia langsung berdiri dan bergegas menaiki sepedanya. Berjalan keluar dari tempat pemakaman umum dengan cepat.
Sebenarnya, ia merasa akhir-akhir ini sering sekali merasakan ada seseorang yang sedang mengawasinya, sehingga membuat pikirannya melanglang buana tak tenang. Bahkan tidurnya pun tak enak karena terus teringat. Ia tak menceritakan keluhannya ini pada Sumiati ataupun Kasih. Takut mereka akan khawatir. Jadi Karto lebih memilih untuk memendam.
***
"Rip, kamu sudah dengar tentang mayat di depan sekolah?" tanya salah satu teman Arip yang berkepala botak.
"Aku nggak mau dengar berita-berita tentang itu lagi!" seloroh Arip menutup kupingnya rapat-rapat.
"Lah, nopo? Bukannya kamu paling semangat kalau bahas tentang Petrus?"
"Aku wes bosen! Kupingku iki lho, pengeng ngerungokno Petrus meneh, Petrus meneh! (Telingaku ini lho, pengeng mendengarkan Petrus lagi, Petrus lagi!)" seru Arip mengembuskan napasnya berat, kemudian memasuki kelasnya meninggalkan teman si botaknya.
Arip memandang Kasih dan Juna yang saat ini tengah belajar bersama. Dari penglihatan Arip, Juna bak guru yang sedang menjelaskan suatu materi pada muridnya. Kasih terus mengangguk-anggukan kepalanya, tanda ia paham apa yang dikatakan juna.
"Lagi mengerjakan apa, sih?" tanya Arip.
"PR, tapi karena aku nggak paham dengan rumusnya, jadi aku kerjakan saja di sekolah, sekalian tanya ke Juna tentang materi yang nggak aku mengerti," jelas Kasih sambil matanya terus menatap buku yang bertuliskan banyak angka di dalamnya.
"PR itu ya, dikerjakan di rumah," sahut Arip.
Mata Kasih menatap Arip tajam. Ia meletakkan pulpennya di sebelah buku. "Memangnya kamu udah?" tuntut Kasih.
Yang ditanya malah cengengesan. "Aku liat punya Juna aja."
"Nggak mau! Enak aja," timpal Juna seraya bersedekap dada.
Seketika Arip memasang wajah memelasnya yang membuat Juna bergidik ngeri, sementara Kasih tertawa geli. Ada-ada saja kelakuan Arip.
"Nggak usah masang muka melas gitu! Aku nggak bakal kasih contekan, kamu harus berusaha, belajar seperti Kasih! Aku ajarkan nanti!"