Kasih baru saja pulang. Seperti biasa, ia diantar oleh Arip dan Juna. Waktu di sekolah tadi, untungnya masalahnya cepat selesai karena ada guru dan Tirto yang sebagai saksi. Walaupun Kasih masih tidak puas dengan hanya permintaan maaf. Minimal ganti tas yang dirusak Ratna. Itu yang membuatnya kesal sekarang. Sudah mengucapkan perkataan jahat tentang bapaknya dan masalah itu berlahir hanya karena sebuah permintaan maaf? Hatinya sudah terlanjur sakit, pikirannya sudah terus menerus teringat perkataan yang menyakitkan itu. Tidak muda bagi Kasih untuk melupakannya.
Dengan lesu, Kasih mendaratkan pantatnya di kursi depan rumah sambil membawa tasnya yang sudah rusak. Ia bimbang, apakah ia harus jujur bahwa sekarang ia sangat membutuhkan tas sekarang? Tetapi, ia takut akan membebani bapaknya. Tas itu harganya tidak murah untuk kalangan rendahan sepertinya. Tetapi di sisi lain, saat ini ia sangat membutuhkan tas untuk pergi ke sekolah besok.
Kasih duduk di depan rumahnya sembari melamun dan mengayun -ayunkan kakinya. Memikirkan nasibnya saat ini.
"Kasih? Sudah pulang? Kok, tidak salam?" tanya Karto yang baru keluar dari pintu.
Kasih yang mendengar lantas menyalami tangan Karto dengan cengiran khasnya, lalu Karto ikut duduk bersama Kasih di depan rumahnya.
Dengan hembuskan napas berat, Kasih menunjukkan tasnya yang sudah rusak itu ke bapaknya. Mau bagaimanapun, saat ini ia sangat membutuhkan tas baru. Sudah dua tahun yang lalu tasnya harusnya sudah diganti, tetapi karena alasan keuangan dan kerukunannya dengan Karto, membuat Kasih lebih baik memperbaiki tasnya sendiri dengan menjahit lubang-lubang yang ada di dalam tasnya.
Dengan raut wajah resah, Kasih menyodorkan tasnya yang rusak. "Kasih boleh minta tas baru nggak, Pak?" tanya Kasih dengan suara pelan.
Karto menerima tas itu, lalu mengeceknya dengan saksama. Tas Kasih memang sudah rusak parah. Bodohnya ia tidak memperhatikan ini.
Kasih menjelaskan kenapa tasnya bisa rusak parah seperti itu. Ia menceritakan semuanya tentang kejadian di sekolah yang berkelahi dengan Ratna. Tetapi Kasih tidak menceritakan tentang Ratna yang tidak sopannya mengucapkan kata-kata tentang bapaknya yang harusnya mati. Ia cukup menceritakan sampai adegan tasnya dirusak.
Karto mendengarkan dengan saksama. Setelah Kasih sudah selesai bercerita, ia menaruh telapak tangannya ke atas kepala Kasih, lalu mengelusnya. "Anak Bapak keren, bisa melawan orang yang sudah berbuat salah," pujinya dengan senyuman.
"Nanti abis asar, kita pergi ke pasar beli tas yang Kasih inginkan dari dulu," ucap Karto.
Sontak mata Kasih melotot kegirangan. "Beneran, Pak?" tanyanya antusias.
Karto terkekeh pelan sembari mencubit pipi anaknya gemas. "Beneran, dong!"
Raut wajah Kasih berubah menjadi sendu, tatapannya kini menyayu. "memangnya ... Bapak ada uang?" tanyanya pelan.
"Kasih tidak usah memikirkan itu, apapun untuk Kasih, semuanya ada bagi Bapak," ujar Karto seraya tersenyum lembut.
Perasaan haru mulai menyergap ke dalam diri Kasih. Ia adalah anak yang beruntung memiliki bapak seperti Karto. Perubahan sikapnya membuat Kasih merasa masih tidak bisa percaya. Orang yang dulu selalu menatap Kasih layaknya sampah, kini menatap Kasih dengan cinta. Orang yang dulu selalu berbicara kasar dan tinggi, kini berbicara lembut dan pelan.
Lantas Kasih memeluk erat Karto. Begitu pula dengan Karto membalas pelukan putri kecilnya yang sudah mulai menginjak masa remaja. Walaupun nanti Kasih sudah dewasa, ia akan selalu menganggap Kasih sebagai putri kecilnya, putri kesayangannya, putri kebanggaannya dan putri di kalbunya. Selalu. Dan akan selalu begitu.
Saat sedang momen haru tercipta, tiba-tiba suara perut keroncongan berbunyi ria. Kasih memegangi perutnya, lalu tertawa pelan. Diikuti Karto yang tertawa meledek, membuat Kasih tampak mencebikkan bibirnya kesal.