Semilir angin menerbangkan rambut Karto dan kasih. Awan yang berarak mengikuti mereka, tanaman yang begoyang karena angin turun hadir menghiasi perjalanan dua insan yang tengah naik sepeda ontel tersebut. Diiring degan tawa yang tampak seperti lagu bersenandung indah, masuk ke dalam indra pendengaran dengan sopan.
Sepeda ontel mereka menuruni dan melewati perkebunan juga persawahan milik warga, juga turunan yang sedikit curam yang makin membuat erat pegangan Kasih pada pinggang Karto.
"Nanti Kasih mau beli tas yang seperti apa?" tanya Karto dengan suara sedikit lantang.
"Pokoknya mau yang warna merah jambu!" seru Kasih.
"Perintah dilaksanakan!" seru Karto yang membuat Kasih terkikik geli.
Setelah bermenit-menit lamanya mereka menelusuri jalan utama, akhirnya sampailah mereka di pasar. Lumayan sepi, karena mereka ke sini saat sore hari. Biasanya pasar ramai saat pagi sampai siang. Tetapi bukan berarti pasar di sore hari tidak ada pengunjung. Karena setelah diadakannya operasi jalanan, rakyat menjadi aman dan tenteram. Tidak ada yang takut jika nanti di begal, dirampok tengah jalan, ataupun uangnya dipaksa ambil oleh preman pasar. Sehingga para pedagang bebas menentukan buka tutup lapaknya sesuka hati tanpa takut malapetaka menghampiri.
Karto dan Kasih berkeliling dengan sepeda ontel yang Karto tuntun dan Kasih yang menunggaginya. Mereka mencari tempat penjualan tas. Hingga beberapa menit kemudian, ketemulah pedagang tas tersebut. Tampaknya orang itu akan menutup lapaknya. Dengan cepat Karto menahannya.
"Saya mau beli tas, Pak!" cegah Karto.
"Mangga, mangga, Pak, dipilih sek," kata pedagamg tersebut ramah.
Mata Kasih melihat tas berwarna merah muda tergantung. Senyumnya mengembang, lalu menunjuk tas tersebut sambil berucap, "Kasih mau tas yang itu, Pak!" tunjuknya.
Sang pedangang langsung menurunkan tas yang Kasih tunjuk, lalu memberikannya untuk melihat-lihat. Tatapan kagum terus tercetak pada matanya. Setelah sekian lama, akhirnya ia bisa membeli tas baru. Keinginannya tercapai.
"Berapa, Pak?" tanya Karto sambil merogoh kantongnya.
"Lima belas ribu saja," jawab pedagang itu.
Jawaban dari sang pedagang, membuat gerak tubuh Karto terhenti. Menurutnya, dengan harga segitu, merupakan harga yang mahal bagi Karto. Ia mengeluarkan selembaran uang berwarna ungu. Hanya itu satu-satunya uang yang tersisa.
"Bisa turun sedikit lagi, Pak? Saya mohon, untuk anak saya," harap Karto.
Raut wajah pedagang itu yang tadinya ramah kini tampak garang. "Sampean ini, kalau tidak bisa membeli tas yang itu, yo, beli saja yang murah! Banyak tas merah muda yang tergantung di sini dengan harga yang lebih terjangkau," kata pedagang tersebut, kemudian menurunkan tas merah muda lainnya.
"Tapi anak saya sukanya yang itu, Pak. Tolong saya, yo, Pak?"
Kasih melihat perdebatan kecil antara bapaknya dengan pedagang. Apa ini karena tas yang ia inginkan? Dengan segera ia meletakkan tas merah muda tersebut di deretan tas merah muda lainnya. Ia menarik ujung kaos Karto.
"Tas yang lain saja, Pak. Nggak papa, yang sesuai dengan uang yang Bapak bawa saja," kata Kasih sembari tersenyum.
Karto menekukkan lututnya, menyamakan tingginya dengan Kasih, lalu mengusap pucuk kepala Kasih lembut seraya tersenyum sendu. "Bapak ingin memberi Kasih yang terbaik, yang Kasih inginkan."
"Bapak udah tepatin itu semua, kok! Tas yang mana saja, Pak, asal masih bisa dipakai, Kasih sudah senang." Jawaban bijak dari Kasih membuat hati Karto tertegun.
"Asalkan abis pulang dari pasar, kita makan gudeg lagi," lanjut Kasih dengan cengiran kudanya yang membuat Karto gemas lantas mencubit pipi Kasih.
Karto berdiri, kemudian menatap sang pedagang tersebut. "Saya pilih yang murah saj—"
"Nggak usah, ambil saja yang tadi, mumpung saya lagi berbaik hati," kata pedangan tersebut yang membuat Karto melongo.
Tadi pedagang itu marah-marah karena Karto meminta harganya diturunkan, tetapi kini ia malah memperbolehkannya. Memang, manusia itu adalah makhluk labil.
"S-sampean beneran, Pak?" tanya Karto memastikan.
Kasih yang mendengar pun tersenyum senang.