Medan 16 September 2014.
Hampir satu jam lamanya aku masih diam di beranda rumahku. Seperti mimpi rasanya ketika melihat hilir-mudik orang-orang yang datang membawa berbagai ornamen-ornamen untuk pesta pernikahanku.
“Bang, tukang salonnya sudah datang, tuh!” kata Tiur beberapa menit yang lalu ketika menemukanku melongo dalam lamunan di beranda rumah kami.
Aku tidak menggubris sedikit pun perkataan orang yang beberapa jam ke depan akan sah menjadi istriku. Mataku terlalu sibuk dengan aktivitas orang-orang di halaman rumahku pagi ini. Berbagai pernak-pernik khas Batak begitu indah dalam pandanganku. Juga alat musik seperti Gondang¹ dan alat musik modern lainnya. Ah! Ini akan menjadi parade yang tidak terlupakan dalam hidupku.
Bagaimana tidak, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan hanya bisa kujalani satu kali dalam hidupku. Beranjak dari alasan tersebut, maka aku ingin membuatnya menjadi sebuah momen yang tidak terlupakan. Sehingga kelak akan menjadi sebuah cerita menarik untuk generasiku selanjutnya. Setidaknya demikianlah yang saat ini ada dalam pikiranku.
Prosesi yang akan kujalani sekarang akan kukisahkan kepada anak-anakku, kelak. Setiap momen bahagia wajib kubagikan kepada mereka suatu saat nanti. Entah mengapa pikranku berkelana sampai ke sana. Terus bagaimana dengan kisah kelam yang menderaku sebelum berada di hari ini? Pantaskah akan kubagikan juga?
****
Mata Bapak menembus retinaku ketika aku baru tiba di sawah sekitar jam empat sore. Seperti hari-hari sebelumnya, aku sudah bisa menebak apa yang akan aku dapatkan. Sesuatu yang tersimpan di balik wajah murka itu. Juga amarah yang diwakilkan lewat tatapan tajam yang tidak ada ampun.
“Sian dia do ho? Diboto ho do nga jam piga on?²”
Aku hanya tertunduk lesu mendengar kemarahan yang keluar dari mulut Bapak. Meski ini adalah sebuah pelanggaran dan aku mengakuinya, namun sebagai anak kecil, aku juga berhak diperlakukan lebih. Dalam arti, aku juga ingin merasakan kebebasan layaknya seorang anak pada umumnya.
“Kalau Bapak tanya, dijawab!”
Pada saat yang bersamaan, sebuah tamparan mendarat di pipiku. Tangisku pecah seketika. Sebelah jemariku menggenggam pipi yang kini berubah memerah. Ini adalah satu dari sekian banyak tamparan Bapak yang paling empuk yang pernah bersarang di wajahku.
“Ampun, Pak!” raungku. Namun tidak ada tanda-tanda jika Bapak akan menghentikan aksinya itu. Aku berusaha untuk menahan setiap pukulan yang singgah. Kali ini bukan hanya tamparan saja yang beliau berikan. Kaki, bahkan kepalanya mulai mendarat di tubuhku. Seluruh tubuhku menjadi sasaran empuk kemarahannya.
Mataku menangkap sosok Ibu yang berlari ke arah Bapak. Langkahnya begitu terburu-buru. Sesekali ia terjerembab jatuh ke sawah akibat pematang yang licin. Suaranya tidak jelas dalam telingaku, karena yang terlihat hanya ekspresi seperti orang yang sedang menangis. Risau, terluka dan merasa bersalah.