Hujan di bulan Desember. Selain menyukai hujan, aku juga menyukai bulan Desember. Penghujung tahun seperti ini membuatku begitu bersemangat. Selain akan mendapatkan baju baru, akan banyak makanan lezat juga saudara-saudara yang akan berkunjung ketika Natal tiba. Dan yang paling aku tunggu adalah liburan panjang hingga pertengahan Januari.
“Natal sudah hampir tiba, Mak!” seruku menyambut kedatangan Ibuku. Sebuah senyum simpul terlukis di bibirnya. “Mamak sudah membelikanku baju baru, kan?”
“Tidak usah kau pikirkan, Lop. Bapak sudah berencana untuk menjahitkan pakaian kalian untuk Natal. Dan kata Bapak, kalian akan dibuatkan seragam,” terang Ibu.
Aku meloncat-loncat kegirangan. “Seperti penyanyi saja, Mak!”
“Maksudmu penyanyi Batak yang sering kau tengok di VCD itukah?” tanya Ibu sembari tersenyum geli.
“Iya, Mak. Tapi sepertinya itu ide yang bagus, Mak. Siapa tau saja kami bisa trio pas Natal nanti.” Tawa kecil meluncur dari mulutku.
Ibu mengacak-acak rambutku. Senang rasanya melihat beliau bisa tersenyum seperti itu. Kemudian beliau pergi meninggalkanku di beranda. Ah, Desember! Mengapa kau terlalu menggembirakan?
****
Seperti kataku, Desember adalah bulan penghujan. Musim ini tidak akan pernah aku lewatkan begitu saja. Meski sudah usia remaja, aku tidak malu untuk bermain bersama hujan. Bersama teman-teman sebaya, aku merayakan kegembiraan itu dengan mandi hujan. Tidak peduli dengan teriakan-teriakan orang yang tidak senang dengan tingkah kami. Yang terpenting, kami ingin merayakan kegembiraan ini, berbagi dengan hujan dan menumpahkannya hanya dengan hujan.
Semua masalah serasa sirna ketika tubuhku menyatu dengan hujan. Seperti noda, tubuhku rasanya dibersihkan hingga kembali putih.
Di tengah kegembiraan itu, aku tidak sadar ketika sebuah tangan kokoh nan perkasa menggenggam tanganku kemudian menariknya dengan paksa. Mataku yang tersiram air hujan, tidak dapat melihat siapa sosok yang menganggu kesenangan itu. Berulangkali aku menghapus air hujan dari wajahku untuk memastikan siapa orang yang tengah menarikku. Namun setiap kali menghapusnya, rintik hujan sudah kembali membasahi wajahku. Aku kalah cepat.
Aku diseret tanpa belas kasihan. Sekuat tenaga aku berontak untuk melepaskan genggamannya, namun tenagaku terlalu lemah untuk bisa lepas darinya. Samar-samar aku sudah melihat beranda rumahku, dan di saat yang bersamaan aku tersadar. Tanpa memastikan lebih lanjut, aku sudah bisa menebak siapa orang yang menarikku dengan paksa. Dia Bapak.
Bapak melempar tubuhku pada tumpukan dedak yang teronggok di teras rumah. Hampir saja dia sukses membuat wajahku terolesi dedak persis seperti bedak.
“Mengapa menatapku seperti itu? Tak suka kau!” bentak Bapak.
Aku mencoba bangkit, sebelah tanganku masih terasa sakit setelah ditariknya dengan paksa. Air mata yang sedari tadi aku coba pertahankan untuk tidak terpecah, pada akhirnya harus jebol mendobrak pertahananku. Aku terisak namun tetap kucoba untuk tidak mengeluarkan suara. Karena akibatnya akan fatal ketika suara tangisku terdengar di telinga Bapak.
“Sala ma au disi, Bapa,¹” ucapku.
Bukan kata-kata yang kuterima setelahnya. Sebuah balok kayu sudah siap menghadang di depan mata.
Bugh!
Dalam sekedip mata, balok kayu dalam genggaman Bapak sudah mendarat di dadaku. Pada pukulan pertama aku bisa menahan. Sekuat tenaga kucoba untuk tidak mengeluarkan suara tangisku. Hanya suara meringis yang terdengar sesekali dari mulutku. Kemudian suara nafas tertahan akibat menahan tangis yang masih bersarang dalam tenggorokan.
“Ago jo! Hera so anakmu do hubereng dibahen ho i,²” Ibu menghambur keluar dari dalam rumah. Tangannya dengan sigap menangkap balok kayu yang telah siap dilayangkan oleh Bapak untuk yang kesekian kalinya di atas tubuhku.
“Mengapa kau terlalu membencinya? Dia masih anak-anak, wajar saja jika dia berlaku seperti itu,” bela Ibu.
Bapak menghempaskan balok kayu di atas lantai dengan cukup keras kemudian masuk ke dalam rumah tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Wajah Bapak sama seperti wajah kemarahan pada hari sebelumnya. Tatapannya tajam, wajah datar dan penuh kebencian.
****
“Baju untuk Natal kita sudah siap dijahitkan. Coba kau tengok punya kau,” kata Bang Todo. Walau usianya cukup jauh di atasku, namun sikapnya masih seperti anak kecil. Terutama ketika melihat ekspresi wajahnya siang ini..
“Toho doi, Bang?³” kegembiraan tertumpah di wajahku.
Secepat kilat aku berlari menerobos masuk ke dalam rumah. Kemudian Bang Todo mengekori langkahku dari belakang. Di ruang tengah sudah ada Bapak, Ibu bersama dengan Bang Pattun. Bapak menatapku tajam, namun senyum Ibu lebih mendapat perhatianku. Senyum itu menjanjikan pengharapan bagiku. Tulus dan hangat.
“Ini punya kau. Bagus, kan?” tanya Ibu.
Sebuah kemeja bergaris dengan lengan pendek, berpasangan dengan celana keper berwarna hitam mengkilap.
“Bukankah kemarin Mamak janji menempah baju Natalku sama seperti milik Bang Todo dan Bang Pattun?” Melihat baju yang ada dalam genggaman kedua abangku, menimbulkan kesan aneh sekaligus iri dalam pikiranku. Namun ketika menyaksikan wajah Bapak yang selalu datar persis seperti buku tebal tanpa gambar pada sampulnya, nyaliku menciut.
“Kainnya tidak cukup kemarin, Lop. Tapi abang-abangmu sudah terlanjur suka dengan warna itu. Ngga apa-apa, ya?”
“Masih syukur dibeli, daripada tidak sama sekali!” sambar Bapak yang duduk berdekatan dengan kedua abangku.
“Tapi aku tetap senang kok, Mak. Natal bukan tentang baju baru, kan? Hatinya yang terpenting,” kataku. Aku masuk ke dalam kamar dengan perasaan kalut. Namun aku tidak menunjukkan hal tersebut kepada mereka. Di dalam kamar, aku menenggelamkan wajahku di atas bantal, tanpa terasa sebutir air mata jatuh perlahan dari pelupuk mataku dan bermuara di atas bantal. Tanpa kusadari aku tumbuh dewasa terlau cepat ketika mengingat usiaku yang masih empat belas tahun.
****
Bangga rasanya ketika Kepala Sekolah memanggil namaku sebagai juara umum tahun ini. Aku berhasil mengalahkan 120 siswa lainnya. Sayangnya kegembiraan ini tidak bisa disaksikan oleh kedua orang tuaku. Ibu sedang tidak enak badan, sementara Bapak lebih memilih diam ketika aku memintanya untuk hadir mengambil raportku.
“Selamat ya, Lop. Bakal dapat hadiahlah kau nanti,” kata Tigor, sahabat yang selama ini menjadi pelampiasan amarahku. Dia adalah orang terdekat setelah Ibu yang mengetahui banyak hal tentang aku. Tigor berhasil menyabet juara kedua, hanya selisih dua puluh dari jumlah nilaiku. Dia datang bersama Bapaknya. Berulangkali aku melihat Bapaknya memeluk kemudian mencium kening Tigor. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari Bapak.
“Aku tunggu hadiah dari kau,” kataku iseng.
“Tenang aja. Kau pasti dapat bagian dariku,” katanya. “Tapi kau harus mengajariku bagaimana supaya bisa sama seperti kau,” bisiknya di telingaku. Tawaku terpecah seketika. Tigor terlalu pintar mengundang tawa. Mimik wajahnya yang tembem dan hampir bulat sempurna membuatnya sudah tampak lucu meskipun kata-kata humor tidak keluar dari mulutnya.