Pukul tiga dini hari aku terbangun. Seluruh badanku terasa ngilu seperti orang yang baru saja melakukan pekerjaan berat. Kupandangi wajah Ibu yang tertidur pulas di sampingku. Wajahnya menggambarkan kelelahan. Beliau tidak lagi muda, ada lipatan-lipatan di wajahnya yang gelap. Lipatan itu seperti lembaran-lembaran yang menyimpan serentetan peristiwa kelam dalam hidupnya. Tatapanku kemudian beralih ke kepala Ibu. Satu demi satu rambut berwarna putih mulai bertebaran di mana-mana melengkapi usianya yang sudah tidak lagi muda.
Satu alasan kuat yang membuat aku nekat pergi; suasana akan semakin kacau, tidak ada yang akan berubah setelah kejadian ini. Jika kau bertanya mengapa aku seyakin ini dengan anggapan yang seperti itu, alasanku hanya satu. Bahkan setelah mengikuti kemauannya, Bapak masih saja bersikap kasar.
Aku harus pergi, Mak. Maafkan aku, desisku dalam hati. Tanpa kusadari sebening air mata mengalir mulus dari pelupukku. Dan aku beranjak mengambil tas ransel kemudian memasukkan sepasang baju ke dalamnya. Dengan sangat hati-hati aku membuka engsel pintu dan bergegas menuruni tangga rumah panggungku.
Sejenak aku mengamati rumahku dari halaman sebelum aku beranjak pergi. Tempat berteduh yang selama ini membuatku nyaman. Pelindung yang selama ini menjagaku dari sengatan panas matahari, penghalau dinginnya angin malam dan penghangat ketika hujan turun. Di dalamnya juga tersimpan kisah senang bersama senyum Ibuku yang selalu hangat dan ikhlas. Dan tidak ketinggalan masa suram yang kutorehkan bersama Bapak. Ibarat sebuah buku, kisah lengkapnya bisa ditemukan di dalam rumah panggung yang kini menahan sedih setelah mengetahui kepergianku.
Aku mulai menelusuri jalanan Desa Ponjian yang berbatu. Menembus gelap malam dan berusaha berlari sejauh mungkin. Tidak ada tujuan yang pasti yang kurencanakan sebelumnya. Aku hanya memiliki kebulatan hati. Sebuah keteguhan untuk terus berjalan, menapaki malam dalam kelam. Aku hanya ingin terus berjalan hingga nanti aku lelah dan terdampar di suatu tempat yang jauh dari sini.
Terdengar suara kokok ayam, juga lolongan anjing dari kejauhan. Namun suara-suara itu terdengar begitu pilu dalam telingaku. Sama seperti kehilangan yang akan dirasakan oleh Ibu ketika beliau menyadari jika aku tidak lagi lelap di sampingnya. Atau mungkin Bapak, yang bisa berubah setelah menyadari kepergianku. Akankah Bapak merasa kehilangan dan merindukanku, kelak? Amarah yang bergejolak dalam dadaku menolak perasaan itu. Bapak pasti akan merasa lebih tenang jika aku tidak ada. Atau mungkin berharap aku tidak kembali?
****
Aku kini berdiri beberapa puluh kilometer dari rumah. Pagi sudah mulai hadir kembali. Kicauan burung dari balik pepohonan mulai menghiasi pagi. Langkah kakiku semakin melemah. Aku berusaha menghentikan setiap kendaraan yang melintas di jalan aspal yang kini terbentang panjang di hadapanku.
Hanya dalam hitungan beberapa jam, aku telah berada di ibukota Kecamatan Sumbul. Sebuah kota kecil yang menjadi bagian dari Kabupaten Dairi. Dibanding dengan desaku yang letaknya di kaki Bukit Simerung, Sumbul lebih ramai dengan berbagai kegiatan orang-orang di dalamnya. Kota ini juga menjadi lintasan yang bisa menghubungkan Sumatera Utara dengan Nanggroe Aceh Darussalam.
“Mau kemana, Lae?¹” suara seseorang mengagetkanku.
Aku menoleh ke arah sumber suara, seorang sopir truk pengangkut batu cadas tengah memandangku iba. Aku memang sengaja menunggu di sebuah halte yang sepi, jauh dari keramaian oran-orang.
“Ayo, naiklah!” katanya menawarkan tumpangan.
Tanpa pikir panjang aku menerima tawaran lelaki yang baru aku kenal itu. Aku duduk di atas batu cadas di bak belakang truk.
****
Satu jam selama perjalanan, setelah melewati medan yang beragam. Seperti tanjakan yang cukup terjal, tikungan mematikan juga hutan lebat yang menjadi dinding di sisi kiri dan kanan badan jalan. Semua menjadi hiburan tersendiri dalam pikiranku. Dan tanpa terasa semua berlalu dalam waktu yang cukup singkat setelah truk berhenti di sebuah warung makan Padang.
“Lae, kita makan dulu!” teriak lelaki yang tadi menawari tumpangan bagiku. Sebuah senyum simpul menghiasi bibir tipisnya. Hangat dan bersahabat.
Aku duduk dalam satu meja bersama dengan orang yang baru aku kenal. Untuk ukuran orang baru, mereka cukup toleran terhadapku. Terlihat dari sikap mereka yang memperlakukanku dengan baik. Dan satu yang terpenting, mereka tidak banyak bertanya tentang diriku. Jujur saja, aku belum siap berbagi cerita tentang tragedi kepergianku ini.