Pindah Sekolah
Ini ingatanku pada tahun 1998 di kota Banjarmasin. Aku memasang kaus kaki di kedua kakiku dan memakai sepatu setelahnya. Aku berjalan menuju pintu pagar kayu rumah paman, lalu membukanya dan menutupnya kembali. Kemudian menaiki sepeda baru yang bapak belikan untukku.
“Sega kamu tidak pergi sama-sama dengan kakakmu ke sekolah?” tanya ibu yang berdiri di depan pintu rumah.
“Sega duluan aja Bu, takut telat,” sahutku.
“Hati-hati di jalan Nak," kata ibu lagi.
“Iya Bu ...," sahutku sambil menjalankan sepeda.
***
Banyak daun kering di jalan menuju gerbang pintu sekolah, tukang kebun sekolah terlihat sedang membersihkannya. Beberapa daun menempel di roda sepeda baruku. Setelah memarkir sepeda, aku mengambil daun-daun kering yang menempel di roda sepeda dan membuangnya ke tempat sampah.
Waktu itu, hari pertamaku masuk sekolah SD. Aku murid pindahan kelas 2.
“Anak-anak hari ini ada teman baru buat kalian orangnya ganteng nih, sepertinya kalian kalah ganteng deh,” kata ibu guru yang berdiri di sebelah kananku.
Hanya aku dan ibu guru yang berdiri di depan kelas sedangkan yang lain duduk di bangkunya masing-masing.
“Sebelum kita persilahkan duduk dan bergabung di kelas kita bagaimana kita suruh dia, untuk memperkenalkan dirinya dulu. Setuju ga ....” Pinta ibu guru ke murid yang lain.
“Setuju Bu ...,” sahut mereka serempak.
“Mari perkenalkan dirimu Nak,” kata ibu menyuruhku.
“Teman-teman, saya ingin memperkenalkan diri saya. Nama saya Renardi Sega Tureza. Kalian bisa memanggil saya Sega. Umur saya 7 tahun. Sekarang saya tinggal di rumah paman saya. Rumahnya tidak jauh dari sekolahan ini, bersama ayah, ibu dan kakak saya. Walaupun kami cuman numpang dan hanya tidur di ruangan bekas gudang. Tapi kata paman, jika paman dan bapak saya ada rezeki, dan saya sekolah dengan rajin, kami bisa membangun kamar lagi, bahkan kami akan membangun penginapan di rumah nanti. Baiklah terimakasih teman-teman, saya harap kita bisa menjadi teman baik.”
Lalu ada suara tepukan tangan dari ibu guru kemudian diikuti oleh semua murid di kelas untukku. Kecuali hanya ada dua orang yang tidak menepukkan tangannya, di antara dua orang itu salah satunya termasuk aku dan satunya lagi seorang anak laki-laki, dan sepertinya aku pernah melihatnya. Setelahku lihat anak itu beberapa menit, aku baru ingat kalau dia adalah anak laki-laki waktu itu. Dia yang namanya hampir mirip dengan ku Sumardi Sega. Iya namanya Sumardi Sega yang dipanggil ayah oleh anak perempuan yang menolongku waktu itu.
“Ibu doakan semoga keinginan atau impian Nak Sega bisa terwujud dan begitu juga untuk anak ibu di sini semuanya ya Aamiin,” kata ibu.
“Baiklah Nak Sega boleh duduk.”
“Ooo ... iya Nak Sega sudah tau nama ibu belum.”
“Belum Bu,” jawabku dengan tersenyum.
“Siapa ya nama Ibu?" tanya ibu, dan mata ibu melihat ke arah murid-murid yang lain.
“Ibu Mirna,” kata murid-murid serempak.
“Ibu Mirna aja ya,” sahut ibu kembali.
“Ibu Mirna cantik,” kata salah satu murid yang duduk di depan.
“Benar banget,” kata ibu sambil tertawa.
“Baiklah sekarang Nak Sega boleh duduk.”
Aku berjalan dengan pelan, melewati murid-murid yang sudah duduk sambil melihat dan mencari bangku kosong. Pada akhirnya aku memilih bangku kosong yang berada di belakang anak yang namanya hampir mirip denganku itu. Walaupun aku hanya duduk sendirian saja di sana. Karena di kelas itu semuanya sudah duduk berpasangan.
“Hai ... namamu Sega ya?" tanya anak laki-laki yang duduk di depanku dan di sebelah anak laki-laki yang namanya mirip denganku.