Murid Pindahan
Ini cerita ingatanku pada tahun 1998 di kota Banjarmasin.
Di kelas, aku mengeluarkan buku dari tas, mencoba membaca namaku yang tertulis di buku tulis, Sumardi Sega. Sega, Ayah Sega, tapi dalam hatiku, tiba-tiba terdengar suara Ampi, seperti ikut membacanya juga. Lalu aku tersenyum sendiri.
Cahaya pagi yang masuk dari jendela kelas membuatku melihat ada debu di bukuku, debu itu seperti ingin menutupi namaku yang tertulis di buku tulisku. Lalu aku menyingkirkan debu itu. Sega, Renardi Sega, Kak Sega tiba-tiba nama anak laki-laki waktu itu, juga terdengar di kepalaku, dan suara Ampi lah yang menyebutnya. Entah kenapa.
“Anak-anak, hari ini ada teman baru buat kalian, orangnya ganteng nih. Sepertinya kalian kalah ganteng deh,” kata ibu guru yang berdiri di sebelah seorang anak laki-laki. Dia anak laki-laki waktu itu, tamu yang datang tidak di undang.
“Sebelum kita persilahkan duduk dan bergabung di kelas kita, bagaimana kita suruh dia, untuk memperkenalkan dirinya dulu, setuju ga,” pinta ibu guru ke murid yang lain.
“Setuju Bu!” kata mereka serempak. Tapi aku tidak ikut bicara.
“Mari perkenalkan dirimu Nak,” kata ibu menyuruhnya.
“Teman-teman, saya ingin memperkenalkan diri saya. Nama saya, Renardi Sega Tureza. Kalian bisa memanggil saya Sega. Umur saya 7 tahun. Sekarang saya tinggal di rumah paman saya, rumahnya tidak jauh dari sekolahan ini, bersama ayah, ibu dan kakak saya. Walaupun kami cuman numpang dan hanya tidur di ruangan bekas gudang, tapi, kata paman, jika paman dan bapak saya ada rezeki, dan saya sekolah dengan rajin, kami bisa membangun kamar lagi, bahkan kami akan membangun penginapan di rumah nanti. Baiklah terimakasih teman-teman, saya harap kita bisa menjadi teman baik,” kata murid pindahan itu, lalu ibu guru menepukkan tangannya, diikuti oleh semua murid di kelas untuknya. Kecuali hanya aku orang yang tidak ikut menepukan tangan.
“Ibu doakan semoga keinginan atau impian Nak Sega bisa terwujud dan begitu juga untuk anak ibu di sini semuanya ya, Aamiin ...,”kata ibu.
“Baiklah Nak Sega boleh duduk.”
“Oya iya, Nak Sega sudah tau nama ibu belum.”
“Belum Bu,” jawabnya dengan tersenyum.
“Siapa ya nama ibu?” tanya ibu dan mata ibu melihat ke arah murid-murid yang lain.
“Ibu Mirna ...,” kata murid-murid serempak. Tapi aku tidak ikut.