Di Tempat Taman Bermain Sekolah TK
(Saat Pertemuan Pertamaku dengan Ayah Sumardi Sega)
Ini cerita tentang ingatanku pada tahun 1997 di kota Banjarmasin.
Awalnya, sejak ibu berkata bahwa semua orang yang masih hidup, tidak akan bisa bertemu dengan ayah lagi, aku tidak apa-apa. Aku menjalankan hidupku seperti biasa, tetap bersemangat, dan bermain. Tapi sosok ayah yang selalu hadir dulu, tidak pernahku rasakan lagi kehadiranya, membuatku tiba-tiba mencari ayah lagi.
Ayah kataku dalam hati, aku berlari menuju arah pintu keluar rumahku yang sudah terbuka kemudian tanpa menggunakan alas kaki aku melangkah ke jalan, berlari untuk mencari ayah.
Aku terus saja berlari tanpa tahu tujuan, sesekali berteriak memanggil ayah, karena ayah tidak bisa aku temukan, aku menangis di tengah jalan sambil berjalan. Di tengah jalan, aku lihat ada kursi kayu, aku duduk di sana dan menangis sekencang-kencangnya. Kursi kayu yang berada di sekolah TK.
Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang sepertinya memperhatikanku.
Dengan cepat anak laki-laki itu turun dari sepedanya lalu menghampiriku, kulihat dia sambil memegangi satu balon di tangannya.
“Kamu kenapa anak kecil?”
Aku melihatinya saja, dan tangisanku semakin kencang.
“Hai ... kamu kenapa?”
“Ayah...,” sahutku tiba-tiba, sambil menangis.
“Ayah ... kamu mencari ayahmu.”
“Iya kamu tahu di mana ayahku?”
“Tidak,” sahut dia sambil menggelengkan kepalanya. Dan aku kembali menangis, bahkan suara tangisanku lebih kencang dari tadi.
“Baiklah aku akan carikan ayahmu. Tapi kamu harus berhentilah menangis,” kata anak laki-laki itu.
“Kata ibu, semua orang yang masih hidup di dunia ini, tidak akan bisa bertemu dengan ayahku, karena ayahku sudah meninggal.”
“Meninggal, orang yang tidak bisa bangun lagi terus diletakan dalam tanah,” kata anak laki-laki itu.
“Jadi ayahku diletakan dalam tanah," kataku sambil menangis.
“Iya seperti kakekku, kata ibuku orang yang meninggal itu begitu.”
“Baiklah, aku mau jadi ayahmu,” ajak anak laki-laki itu. Nangisanku pun mulai berhenti setelah mendengar perkataannya tadi.
“Kamu beneran mau,” sahutku.
“Iya mulai sekarang aku adalah ayahmu.”
“Namamu siapa,” tanya dia lagi.
“Ampi,” jawabku.
“Ampi ... saja ya, pendek sekali namamu,” kata dia sambil tertawa.
“Kalau nama kamu siapa?”
“Namaku Sumardi Sega yang jelas lebih panjang dari namamu. Kamu bisa memanggilku Sega.”