"Daun-daun kering terinjak,
angin datang untuk menolongnya.
Daun kering yang rapuh itu saling berbunyi,
dan akulah yang membuatnya menjadi lebih rapuh,
aku yang membuat bunyinya terasa sedih.
Ketika aku menginjaknya."
Balon Rindu
(Angin dan Daun Kering)
Ini cerita tentang ingatanku pada tahun 1998 di kota Banjarmasin.
Di taman bermain sekolah TK. Aku dan Ayah Sega bermain bersama, kami berlari dan saling kejar-kejaran berdua. Sesekali menaiki ayunan, kursi goyang, perosotan dan permainan lainnya di sana. Kami masih suka bermain di sana, walaupun kami bukan anak TK lagi.
“Balon-balon,” kata penjual balon, yang tiba-tiba lewat di jalan.
“Bagus ya Yah balonnya."
Aku melihati penjual balon.
“Ampi mau?” tanya ayah menatapku.
“Iya,” sahutku lalu menganggukkan kepalaku.
“Baiklah, Ayah akan membelikannya untuk Ampi,” sahut ayah, lalu pergi berlari mendekati si penjual balon dan memanggilnya. Kulihat si penjual balon itu kemudian menoleh ke arah ayah, lalu menghentikan injakan sepedanya. Aku hanya diam duduk di kursi kayu, menunggu ayah membelikan bolan untukku, aku terus saja memperhatikan ayah dan si penjual balon. Tapi karena jarak kami sedikit jauh, percakapan mereka tidak bisa aku dengar.
Kemudian aku lihat ayah membawa satu balon, dan berlari menuju ke arahku, aku kemudian juga ikut berlari menuju ke arah ayah. Angin sangat kencang saat itu. Ketika balon yang ada di tangan ayah berpindah ke tanganku, balon itu malah lepas terbang terbawa angin yang kencang. Daun-daun kering juga ikut berterbangan.
Daun-daun kering terinjak, angin datang untuk menolongnya, daun kering yang rapuh itu saling berbunyi kemudian. Dan akulah yang membuatnya menjadi lebih rapuh, aku yang membuat bunyinya terasa sedih. Ketika aku yang menginjaknya.
Aku dan ayah saling bertatapan muka setelah melihat balon yang terbang. Mataku mungkin mulai memerah. Rasa ingin menangis yang membuat itu. Aku langsung berbalik, lalu berlari pergi begitu saja, karena tidak ingin dilihat ayah menangis. Aku berlari sambil melihat balon yang lepas tadi, balon itu sudah semakin kecil terlihat di langit. Sementara daun kering masih saja tidak mau berhenti berterbangan saling bertabrakan.
***
Aku terus berlari menuju ke rumahku. Setelah sampai, aku lalu duduk dengan menundukkan kepalaku di muka teras rumahku sambil menangis.