“Kalau kata aku mah, ya, lupain.”
Aria, atau lebih sering dipanggil Aya, menghela napas berat. Ponsel di tangannya masih menyala, menampilkan laman sebuah media sosial yang hanya memiliki tiga puluhan unggahan foto.
“Kalau ada apa-apa sama dia gimana?” Aya mengetuk salah satu foto yang menampilkan seorang pemuda yang sedang tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang bangku-bangku kelas kosong sekolah mereka.
“Apa-apa gimana? Kecelakaan? Pasti masuk berita duluan, atuuh!” Dara, salah satu sahabat Aya mengelus-elus punggung Aya yang terlihat sangat menderita. Wajahnya kuyu, bibirnya kering, lingkarang hitam di bawah matanya makin jelas padahal mereka sudah lulus sekolah, tidak ada lagi yang harus dipikirkan.
Dalam hati yang terdalam Aya membenarkan ucapan Dara.
“Apa bener, jangan-jangan Darrel dijodohin di kampung halamannya? Kan mungkin aja gitu, Ya!” Gista menimpali sambil menepuk tangannya seakan mendapatkan ide cemerlang. Tentu saja reaksi dan komentar Gista mendapatkan hadiah pelototan maut dari mata Dara yang sebetulnya kecil tapi menusuk tajam.
“Apa pun kejadiannya,” Dara mengayunkan tangannya dengan kesal, “dia harusnya bisa ngabarin walau sekali. Dua minggu, lho, dia tiba-tiba ngilang. Masa ngabarin doang gak bisa? Emang ngabarin dia lagi di mana, ngapain, balik lagi atau enggak gitu makan waktu dua taun?”
Aya memasukkan ponselnya ke dalam tasnya dan menutupnya. Ia memangku wajahnya dengan kedua tangannya, menatap Dara dan Gista yang kini mulai berkomentar sesuatu tentang pernyataan terakhir Dara.
“Aku nanya sama temen sekelasnya aja pada gak tahu.” Aya bergumam pelan membuat Dara dan Gista terdiam dan memerhatikan. “Aku gak penting kali, ya? Sama kayak temen-temen sekelasnya.”
Dara dan Gista mengusap-usap punggung dan bahu Aya penuh simpatik. Mereka sedang duduk di bagian tengah kantin di bawah pohon besar di mana mereka biasa berkumpul dulu. Di sekeliling mereka bertebaran anak-anak teman sekelas mereka yang lain, karena hari itu mereka berniat untuk nontong bareng di bioskop terdekat. Sudah dua minggu mereka resmi menjadi alumni SMA Rajamantri Bandung, sambil menunggu pengumuman kelulusan mereka ingin merayakan kebebasan dan menjadi pengangguran beban keluarga barang sejenak.