“Kalian pulang sekolah nanti mau ikut anak-anak nonton ke TSM1?” Junta menghampiri meja Aya dan Dara sambil membawa buku catatan.
“Aku mau, Jun.” Dara mengacungkan tangannya sementara Junta menulis nama Dara di buku catatannya dan menyebutkan nominal yang harus dibayarkan untuk membeli tiket.
“Hari ini aku ikut pelatihan Olim.” Aya menggeleng.
“Oh iya, ya? Oke, deh! Goodluck ya, Aya!” Junta tersenyum sambil merapikan uang di tangannya dan berlalu.
“Ayaaa, Daraaa, udah bayar uang nonton belooom?” Gista seakan melayang menghampiri bangku keduanya dan duduk di kursi kosong di hadapan Dara.
“Aku kan lagi persiapan Olim, Gis.” Aya mengeluarkan buku novelnya dari tas.
“Aaaaah iyaaaa. Yaaah, Aya gak ikutan lagiii,” Gista mencibir lucu dan mendapat tampolan pelan dari Dara yang tertawa. “Gak apa-apa, deh! Asal Aya menang lagi, aku sih, ridho lilahi ta’ala.”
“Idih!” Aya dan Dara tertawa. “Dasar si paling santai.”
“Apa, siiiih? Aku kan cuma menikmati hidup. Jadi anak IPA itu udah sebuah beban tersendiri.” Gista mengangkat bahunya cuek.
“Iya deeeeh, yang gak butuh pelajaran IPA karena mau masuk Seni Rupa, si paling seni.” Dara bangkit dari duduknya dan menarik lengan Gista. “Yuk, ah! Kita nonton ke lapang. Sebentar lagi pertandingannya mulai.”
Aya bangkit dari kursinya, begitu juga anak-anak kelas yang sedang duduk santai-santai. Suara di luar kelas mereka semakin riuh, tandanya pertandingan basket antar sekolah sudah akan dimulai. Kebetulan sekolah mereka menjadi tuan rumah kompetisi basket Piala Walkot Bandung. Setiap jam istirahat mereka harus menonton pertandingan basket, terutama ketika sekolah mereka yang bertanding.
“Duuuh, Ayaaa... kita mau nonton basket, ngapain bawa-bawa buku? Emang bisa baca?” Dara memerhatikan Aya yang sedang membolak-balik halaman bukunya untuk menemukan pembatas buku yang terbuat dari bon bayar boba kemarin sore.