Bara dalam Sekam

Al Szi
Chapter #4

ARE YOU SURE?

Aya menatap nama di ponselnya dengan perasaan campur aduk. Marah, kecewa, rindu, terkhianati, sedih... seandainya ia menjadi sebuah lukisan, ia bisa jadi lukisan dengan judul semrawut. Ia sudah seringkali mencoba menghubungi Darrel, tetapi nomornya tidak pernah bisa dihubungi, lebih tepatnya teleponnya tidak pernah diangkat. Entah nomornya telah diblokir atau memang Darrel membiarkan ponselnya terus berbunyi sampai berpuluh-puluh panggilan tak terjawab setiap harinya.

Kabar dari Riki, ketua kelas sekaligus salah satu teman seperkumpulan Darrel, membuatnya sadar bahwa Darrel memang menghilang darinya untuk selamanya. Dengan berat hati pula akhirnya ia menghapus nama Darrel dari ponselnya, setelah seharian ia bolak-balik menekan tombol delete contact dan bolak-balik juga ia menjawab ‘Are you sure?’ dengan ‘No’.

“Udah siap-siap buat Senin?”

Suara dari pintu kamarnya membuat Aya menoleh ke asal suara. Ibunya berdiri di sana sambil mengamati kamar dengan saksama. “Itu apaan, sih, di atas meja? Berantakan banget! Beresin, ya, sebelum tidur!”

“Iya, Bu.” Aya bangkit dari tempat tidurnya dan mulai membereskan mejanya yang penuh dengan buku dan alat tulis, bekas mempersiapkan atribut untuk acara Penerimaan Mahasiswa Baru Senin besok. Sebetulnya besok masih Minggu, masih banyak waktu beres-beres, hanya saja ibunya tetap memerhatikan kamarnya di ambang pintu membuat Aya mau tak mau langsung beres-beres dari pada kena semprot lagi. Suasana hatinya sedang tidak karuan, apalagi kalau ditambah dimarahi.

“Belom dijawab.” Ibunya kembali bicara.

“Apa?” Aya menoleh.

“Buat hari Senin udah siap?”

“Oh udah. Ini, bekasnya,” ujar Aya sambil menunjuk mejanya dengan dagu.

“Oh,” ibunya melirik sekilas dan kembali memerhatikan kamar Aya. “Darrel masuk Universitas mana, sih? Kok belum ada kabar?”

“Katanya mau masuk Universitas Teknologi Komputer, Bu. Tapi enggak tahu,” jawab Aya merasa merana. Ia tahu ibunya tidak begitu suka pada Darrel, apalagi dengan Darrel yang nilai akademiknya pas-pasan hampir jeblok, ditambah Darrel tidak memiliki nilai yang cukup untuk masuk Universitas negeri.

“Oh, UNTEK.” Aya bisa mendengar nada cemooh pada suara Ibu. “Terus kapan masuknya?”

“Enggak tahu, Bu. Aku... belum denger kabar dari dia.” Aya menahan suaranya agar tidak terdengar sedih atau bergetar, karena sesungguhnya sejak siang ia menahan tangisnya mati-matian.

“Jadi belum balik Bandung, dia? Kok bisa? Emang masih bisa daftar?” Ibunya mulai menaruh minat penuh pada Aya.

“Belum. Kayaknya kalau swasta, sih, masih bisa, Bu. Kan biasanya yang masuk swasta yang gak lulus ujian.” Aya menyelesaikan beres-beresnya dan kini duduk di kursi mejanya, mencari-cari buku di rak buku di atas mejanya dengan sibuk, berharap ibu selesai bertanya-tanya.

Lihat selengkapnya