Aya turun dari tribune Sabuga untuk mengambil nomor di kotak yang disediakan di depan barisannya. Katanya, kotak itu berisi kertas dengan nomor acak untuk menentukan kelompok. Kelompok itu akan menjadi kelompok mereka selama masa orientasi. Aya belum berkenalan dengan mahasiwa lain dari fakultasnya. Dari sekolahnya hanya ada enam anak lain yang lulus INB, mereka semua berada di jurusan yang berbeda-beda; FMIPA, Farmasi, FTMD (Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara), FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan), FSRD (Fakultas Seni Rupa dan Desain), FTI (Fakultas Teknik Industri), dan dia sendiri di FTSL (Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan). Dengan pribadi yang tertutup membuat Aya masih menyendiri di hari pertama PMB-INB.
“Yang sudah mengambil nomor silakan keluar dan bergabung dengan kelompok masing-masing.” Seorang senior berbalut jaket almamater hijau toska tua di atas panggung mengarahkan mereka semua pada tiga sisi pintu. Aya berjalan keluar sambil memerhatikan nomor di kertas yang baru saja diambilnya. Nomor 45.
Aya melangkah keluar dan melihat banyak papan nomor di sekitar sana, yang tidak diharapkan ternyata papan nomor itu bukan hanya sekedar papan nomor. Ada yang berbentuk Pikachu, ada foto Jackson Wang memegang kertas dengan nomor kelompok, ada foto Igun dengan nomor kelompok di samping wajahnya, ada juga yang memajang foto gubernur Jawa Barat untuk menjadi papan nomor. Aya mencari-cari nomor 45 dan bersyukur bukan foto Mimi Peri atau Mamah Dedeh yang menjadi gambar papan nomor kelompoknya.
“Kelompok 45?” Seorang senior perempuan yang berdiri di sebelah papan nomor 45 bergambar Doraemon menunjuk Aya.
“Iya, Kak.” Aya menunjukkan kertasnya.
“Yuk baris, kita harus cepet-cepet mobilisasi ke Plawid.” Senior perempuannya menunjuk ke belakang papan nomor di mana sudah ada beberapa orang yang berbaris sambil mengobrol. Aya yang masih belum mengerti apa itu Plawid dan tidak sempat bertanya, berjalan mendekati sekelompok orang yang ditunjuk seniornya.
“Hei, kamu dari fakultas mana?” sapa seorang anak perempuan manis dengan rambut pendek sebatas leher.
“FTSL,” jawab Aya sedikit kaget karena tiba-tiba ditodong sebelum ia benar-benar bergabung dalam lingkaran.
“Oh, FTSL ada itu, Barra! Barra! Ini anak FTSL juga!” Gadis itu menyentuh lengan Aya sambil melambai pada seseorang di seberangnya. “Aku Calista, FMIPA.”
“Oh, hai. Aku Aya.” Aya menyambut tangan Calista yang tersenyum manis padanya.
“Mana anak FTSL?” Seorang cowok menghampiri.
“Ini.” Calista mendorong pelan Aya untuk lebih maju lagi.
“Oh, hai. Kenalin, Barra.” Barra mengulurkan tangannya dan Aya pun menyambut dengan rikuh. Ia sungguh tidak terlalu terbiasa dengan suasana baru yang kelewat ramah dan bersahabat.
Setelah akhirnya Calista dan Barra mengajaknya berkeliling berkenalan dengan anak-anak dari kelompok 45 yang lain, mereka akhirnya berbaris rapi karena sudah saatnya mereka berpindah tempat. Dari gedung Sabuga mereka berjalan beriringan melewati terowongan yang menghubungkan Sabuga dan kampus INB. Mereka terus jalan mengular panjang sampai tanpa terasa hari mulai gelap.
“Kaaak, kita mau ke mana?” Salah satu anak dari kelompok 45 mulai mengeluh. Sejak tadi mereka berjalan terus sambil menelusuri seluruh jalanan di dalam kampus tanpa henti.
“Pulang, ternyata.” Kakak ketua kelompok 45 yang bernama Pia tertawa ganjil sambil melambaikan ponselnya seakan baru mendapat info dari panitia pusat.
“Yaaaah, kenapa pake baris-berbaris, kak?” Barra bertanya dengan nada yang sangat akrab. Memang sejak tadi Kak Pia dan Kak Ditto yang menjadi pembimbing kelompok mereka mengobrol seru dengan seluruh kelompok tanpa ada kesan senioritas.
“Biar kalian gak ilang!” Pia tertawa. “Yang dijemput tolong kabarin orang tuanya untuk jemput di gerbang depan, ya. Yang bawa kendaraan sendiri ya tunggu sampai depan aja.”
Aya dan hampir seluruh orang di sekitarnya serentak mengeluarkan ponsel masing-masing. Setelah Aya mengabari Bapak untuk menjemput di gerbang depan ia menoleh ke samping kanannya, bahunya ditepuk pelan oleh seseorang.