Bara dalam Sekam

Al Szi
Chapter #7

TIKET MARAH

Aya berdiri di belakang Ditto yang lagi-lagi bertugas memegang papan nomor kelompok mereka. Pagi itu, walau masih jam 6, sudah banyak orang berkumpul di belakang papan nomor mereka masing-masing. Aya sengaja datang pagi sekali karena ia ingin mengembalikan cincin yang sepertinya milik Barra yang jatuh ke pangkuannya ketika Barra membantunya duduk di kursi penumpang. Ia ingin memberikannya diam-diam agar tidak menimbulkan banyak pertanyaan atau juga gosip. Mengingat mereka digoda habis-habisan di pos medis, Aya berspekulasi itu juga yang akan terjadi jika ia memberikan cincin terang-terangan di depan semua anak. 

Tetapi hari itu Barra datang mepet waktu. Mereka sudah mulai berjalan pelan untuk memasuki gedung Sabuga, Barra baru datang sambil tergopoh-gopoh memasuki barisan. Di dalam gedung pun tidak membantu. Aya duduk di sebelah Akbar di bagian tengah bangku tribun sementara Barra duduk jauh di ujung tribun. 

Pada saat jam istirahat Aya diseret Ghina dan Nia, duet maut dari Farmasi di kelompok 45, untuk solat bersama. Sekembalinya dari mushola lagi-lagi Aya dan Barra terpisah jauh. Sesekali Aya menggenggam cincin yang ia simpan di saku kanan jas almamaternya. Entah kenapa ia merasa harus segera mengembalikan cincin itu. Dengan ukiran yang dihiasi bentuk hati jelas itu bukan cincin iseng biasa. 

Dan kesempatan itu datang ketika mereka tidak lagi duduk manis di tribun Sabuga, kali ini mereka berpisah dan duduk berkelompok untuk melakukan kegiatan khusus kelompok. Kegiatan bersama ini katanya untuk mengasah cara berkomunikasi dan pemecahan masalah. Setidaknya itu yang dikatakan Pia dan Ditto. Mereka digiring memasuki satu ruangan kelas yang besar dan disuruh duduk melingkar. Perempuan dan laki-laki harus berbaur. 

Aya dan beberapa anak perempuan lain segera berpencar agar duduk dengan orang yang belum terlalu mereka kenal. Melihat kesempatan ini ia segera duduk di antara Barra dan seorang anak perempuan yang memang belum ia ingat namanya. Mereka diberikan waktu tiga menit untuk menghapal nama-nama seluruh teman sekelompok sebelum diuji. Aya dan semua anak segera merapikan papan nama di dada mereka agar semua orang yang di seberang ruangan pun bisa membacanya. 

“Nah, sekarang name-tag kalian sembunyiin, ya! Gue tunjuk peserta pertama! Akbar, sini sini, maju! Duduk di tengah.” Pia menunjuk Akbar yang segera mengikuti arahan dengan patuh. “Mulai dari yang pake kacamata, lo sebutin semua nama temen lo satu-satu.” 

Dalam kesibukan mereka menyebutkan satu-satu teman sekelompok yang kurang lebih berjumlah 30, Aya mengeluarkan cincin milik Barra dari saku. Ia menoleh dan menarik sedikit jaket Barra, menarik perhatian. Barra menoleh dan tersenyum. 

“Ini punya kamu, kan?” Aya menunjukkan cincin lapis perak polos di tangannya. 

“Oh, iya! Kupikir ilang ke mana!” Barra berbisik antusias dan mengambil cincin itu dari tangan Aya. “Makasih, ya, Aya. Bisa berantem aku kalau nih cincin ilang.” 

Aya tersenyum dan kembali fokus pada kegiatan kelompok. Saat gilirannya menyebutkan nama teman-temannya, tentu saja dengan mudah ia bisa menghapalnya. Dan ketika kegiatan berikutnya mereka diminta berdiri dalam lingkaran dan berpegangan tangan dengan teman sebelah kiri dan kanan. Aya mendadak tidak enak hati ketika ia melirik Barra. Pemuda itu kan punya pacar. Kalau Darrel, pasti akan marah sekali Aya berpegangan tangan dengan laki-laki lain. 

Lha, ngapain masih mikirin Darrel? Aya menghela napas. Hampir satu tahun hubungannya dengan Darrel, walau pun sudah jelas pemuda itu tidak akan kembali tetapi jejaknya ternyata masih terasa jelas. 

“Ya, sini.” Barra mengulurkan tangannya untuk dipegang. 

Aya menaruh tangannya di atas telapak tangan Barra dan pemuda itu menautkan jemarinya seperti gurita. Tiba-tiba ada sengatan listrik yang terasa aneh di dada Aya. Ia melihat teman-temannya yang lain yang berpegangan tangan, tidak ada yang seperti gurita terutama jika yang berpegangan tangan itu lawan jenis. 

Selama kegiatan khusus kelompok Aya berusaha bersikap biasa padahal setiap tangan, lengan atau bahunya bersinggungan dengan Barra ia merasa dadanya berdegup tak beraturan. Aya merutuki dirinya sendiri, hanya karena satu sentuhan, hanya karena Barra yang menggendongnya, hanya karena orang-orang menggoda mereka, tiba-tiba ia merasakan desir-desir halus setiap berdekatan dengan Barra. 

Setelah kegiatan selesai, kali ini Aya melakukan hal yang berlawanan dari sebelumnya. Jika sebelumnya ia berusaha mendekati Barra untuk mengembalikan cincin, kali ini ia berusaha berjalan atau berbaris jauh dari Barra. Ghina dan Nia lumayan membantunya untuk mengalihkan perhatian Aya dari Barra karena duo gila itu benar-benar menjadi penghibur kelompok mereka. Tetapi karena ia jadi tidak memerhatikan ke mana Barra, tiba-tiba saja ia kembali ke dalam ruangan gedung dan tempat duduk yang tersisa hanya di sebelah Barra. 

“Tadi kepisah sama yang lain,” ujar pemuda itu sambil bergeser menyilakan Aya duduk di sebelahnya sementara Ghina dan Nia harus duduk di depan mereka. 

“Oh,” ujar Aya sambil duduk di sebelah Barra. 

Lihat selengkapnya