“Kamu mau balon?” Barra menyusul langkah Aya ketika mereka semua sedang berjalan beriringan dalam acara OHU (Open House Unit).
Pagi itu mereka sekelompok janjian untuk jalan-jalan di acara OHU, perkenalan unit-unit yang ada di INB. Bahkan mereka menetapkan dresscode hitam untuk laki-laki dan putih untuk perempuan. Acara OHU bukan bagian dari acara kelompok, tetapi mereka ingin terus bersama-sama walau pun mereka sebagian berpencar untuk mendatangi stan unit yang mereka minati.
“Balon?” Aya yang sedang berjalan sambil mengobrol dengan Ghina, Nia dan Akbar menoleh pada penanya dan mengernyitkan dahi heran. Barra memang tadi bersamanya, tetapi tiba-tiba pemuda itu bertemu teman satu sekolahnya dan menghilang sejenak.
“Ada yang bagi-bagi balon dari Unit Boulevard, unit jurnalistik INB,” jelas Barra sambil berjalan mundur karena ia ingin berhadapan dengan Aya.
“Barraaaa aku mau baloooon, kok cuma nawarin Aya doaaang, ih kamu mah pilih kasiiih!” Ghina memukul lengan Barra yang sedang jalan mundur, membuat pemuda itu meringis kesakitan.
“Aduh, kalau nawarin semuanya gak akan bisa,” ujar Barra sambil mengusap-usap lengan yang dipukul Ghina dengan tenaga dalam.
“Mentang-mentang Aya cantik!”
“Ih, apasih!”
“Kamu juga cantik, Ghina. Kamu cantik, cantik, dari mananyaaa?” Barra menyanyi lagu Cherrybelle sambil menunjuk Ghina, masih dendam lengannya dipukul.
“Durhaka sateh (
kamu teh), Barra. Gak boleh gitu sama kanjeng ratu yang mulia!” Nia tertawa sambil memeluk Ghina seakan tersakiti.
“Beneran aku mah, Aya mau balon gak?” Barra mencibir pada Nia dan Ghina dan kembali menatap Aya yang masih tertawa-tawa melihat mereka berdua berantem.
“Bar, ngalangin jalan. Kalau mau ambil balon ambil ajalah! Gak usah nanya-nanya!” Akbar menghalau Barra dari hadapannya, merasa teriritasi dengan kelakuan Barra yang selalu berusaha dekat dengan Aya.
“Idih, Akbar mau ya? Aku ambilin juga.” Barra menggoda Akbar dan langsung berlalu dari hadapan mereka tanpa menunggu jawaban lagi.
“Si Barra nempelin mulu kamu, ya?” Nia melirik Aya sambil tersenyum menggoda.
“Gak, kali...” Aya menggeleng-geleng. “Tadi aku bilang ada balon warnanya lucu. Mungkin dia inget.”
“Barra kan punya pacar,” sahut Akbar sambil mengambil beberapa selebaran dari stan yang mereka lewati.
“Aduh, iya tahu, Akbaar.” Nia dan Ghina mencibir. “Tapi kayaknya udah mau putus, tuh!”
“Heh, sembarangan! Gosip ya?” Aya memicingkan matanya menatap kedua temannya yang sepertinya punya amunisi ghibah.
“Eh kita kan pernah denger dia nelpon, mojok, nadanya kayak marah-marah gitu. Terus dia bilang, ‘gak tau ah terserah kamu, capek aku sama kamu!’ trus dia tutup telponnya.” Nia mulai memelankan suaranya.
“Kubilang juga apa, kalau pacar SMA mah lupain, aja! Namanya juga cinta monyet! Kalau yang pasti-pasti aja mendingan cari minimal temen kuliah, lah! Atau lebih bagus kakak tingkat.” Ghina memanas-manasi. “Aku liat, kayaknya emang dari awal Barra suka sama Aya, deh! Kalian lucu banget tau! Cocok!”
“Kalian tuh ya, kupingnya tajem banget kalau urusan gini-gini,” dengus Akbar. “Jangan dengerin mereka, Aya. Aya masih polos!” Pemuda itu menangkupkan kedua tangannya menutupi telinga Aya.
“Akbar gak usah modus!” Nia melempar Akbar dengan gulungan tissue bekas di tangannya. “Kita tim Barraya!”
“Iya apa sih, Akbar kok gitu di belakang aku?” Tiba-tiba Barra muncul dan melepaskan tangan Akbar dari telinga Aya, membuat empat orang di sana sedikit terpana. “Kuping aku juga dingin, butuh kehangatan.”
“Aku tim Akbarra aja, gimana?” Ghina menjentikkan jarinya iseng.
“NAJIS!” Akbar tertawa dan menepis tangan Barra disusul tawa puas Nia, Ghina dan Aya.
“Aya ini balon,” ujar Barra sambil memberikan balon berwarna ungu muda ke hadapan Aya.
“Ih, dapet aja warna ini.” Aya menerima balon itu sambil menoleh pada Barra, mengabaikan Nia, Ghina dan Akbar yang kini sedang adu mulut tentang betapa genitnya Akbar.
“Aku minta tiupin yang warna ini.” Barra tersenyum bangga mengundang tawa Aya.
“Bo’ong!” Aya menggoyang-goyangkan tangkai balon itu ke hadapan Barra.
“Beneran! Sumpah! Serius! Kan tadi kamu bilang warna ungu bagus.” Barra mengeluarkan ponselnya. “Foto!”
Barra berlari mundur, menyenggol Nia, tidak peduli diomelioleh korban, dan mengambil foto Aya yang memegang balon di hadapannya. Senyumnya lebar dan manis.
“Barra, sini aku fotoin. Sana kamu berdiri sebelah Aya,” ujar Ghina tiba-tiba, mengambil ponsel Barra dari tangan dan menggebah Barra seperti ayam kate kabur dari kandang.