“Pulangnya kuanterin, yuk!” Darrel mengiringi langkah Aya di selasar kantin menuju gerbang sekolah. Ia sendiri menenteng helmnya di sebelah kanan.
“Gak usah, gak apa-apa.” Aya tersenyum menatap Darrel di sebelah kanannya sementara kedua sahabatnya mendadak tutup mulut serapat kerang di sebelah kirinya. Gista langsung mencubit lengan Aya yang tentu saja diabaikan.
“Kok gak mau? Gak mau pake motor ya? Aku pinjem mobil temen, deh!” Darrel mengangkat wajahnya dan menadapati salah satu temannya yang sedang duduk di bangku kantin di dekat mereka. Darrel mengangkat tangannya dan berseru, “Jopi! Pinjem mobil!”
“Eeeeh!” Aya menahan tangan Darrel turun. “Enggak, Darrel. Jangan!”
“Gak apa-apa, Darrel. Kita sekalian nebeng!” Dara nyeletuk dan langsung kena pelototan Aya.
“Terus kenapa enggak mau aku anter?” Darrel memasang tampang sedih seperti anak anjing yang kehujanan. “Aku enggak bau badan, kan?” Ia mulai mengendus-endus tubuhnya sendiri.
“Enggaaaak...” Aya mau tak mau tertawa juga melihat kelakuan Darrel. “Nanti kamu repot.”
“Ya ampun, kamu tuh gak pernah bikin repot. Emang kamu pernah nyuruh aku nyuciin baju di rumah kamu?” Darrel memasang tampang polosnya dengan lucu, mengundang tawa Gista dan Dara juga.
“Rumahku jauh, Darrel. Kamu gak akan kuat.” Aya tersipu malu.
“Orang lain kali, yang gak kuat. Aku orangnya tangguh.” Darrel menahan Aya untuk berhenti berjalan. “Kalau jauh, bagus kan kalau aku anter. Jadi kamu enggak akan sepi sendirian di jalan.”
Aya hampir mau mengatakan kalau ia tidak keberatan duduk di angkutan umum sendirian. Ia selalu memiliki caranya sendiri untuk menghibur diri di jalan. Ia suka sendirian kala pulang sekolah. Ingar-bingar di sekolahnya sudah cukup membuatnya lelah selama 8 jam penuh. Perjalanan dari sekolah ke rumah adalah salah satu caranya untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri.
Tetapi wajah Darrel di hadapannya membuatnya menahan diri untuk menyatakan bahwa pulang sekolah adalah waktunya untuk diri sendiri. Sampai akhirnya ia mengangguk menerima ajakan Darrel untuk pulang bersama dan mereka berdua berjalan beriringan menuju parkiran motor di halaman sekolah.
“Rumah kamu jauh, ya?” Darrel membuka helmnya ketika mereka sudah sampai di depan rumah Aya. Aya melepaskan helmnya juga dan menyerahkannya pada Darrel. Cowok itu menatap rumah sederhana satu tingkat Aya yang bernuansa putih-bata.
“Kan udah kubilang...” sahut Aya sambil merengut.
“Bagus, kok. Jadi aku bisa lebih lama sama kamu.” Darrel menerima helm dari Aya dan tersenyum menatap langsung ke mata Aya. “Asal pegangannya kenceng, aku tahan berjam-jam motor-motoran sama kamu.”
Aya tertawa dengan wajah memerah sampai ke telinganya.