Bara dalam Sekam

Al Szi
Chapter #10

KEMBALI

“Ay? Kok, diem?” Suara Darrel di seberang telepon membuat hati Aya mencelus. “Kamu di mana?” 

“Eh...” Aya kebingungan sendiri. “Di... di kampus.” 

“Oh, kok udah masuk lagi?” tanya Darrel santai seakan-akan baru kemarin ia menelepon dan bertemu. “INB masuk lebih awal ya?” 

“Em... iya.” Aya duduk di bangku di depan koperasi sementara Ghina dan Nia mulai diam. Mereka berdua seakan menyadari air muka Aya yang berubah drastis sehingga tidak berani menggoda-goda lagi. 

“Aku udah nyampe kosan, nih! Kamu bisa ke sini?” Darrel, dengan suara riangnya yang biasa, bicara seakan-akan dia tidak menghilang selama hampir tiga bulan. “Aku baru nyampe banget semalem ke Bandung. Untung deh, si Rangga ngurusin kosan aku, jadi masih rapi dan enggak diambil orang.” 

Aya menggigit-gigit bibirnya, jari-jarinya meremas-remas jaket almamater hijau toska tuanya yang sekarang terasa panas. Ghina dan Nia mau tidak mau masuk ke koperasi berdua saja, memberikan ruang untuk Aya menelepon, yang kelihatannya sangat serius. 

“Ay? Kok diem?” tanya Darrel heran di ujung telepon. 

“Eh... kok kamu... ganti nomor?” Aya akhirnya bisa mengeluarkan pertanyaan. 

“Iya. Ceritanya panjang, deh! Makanya, kamu sini, deh. Biar aku ceritain.” Darrel tertawa. “Ay? Kok diem mulu, sih!” 

“Eh... aduh, enggak bisa, Darrel. Aku lagi di kampus.” 

“Emang lagi kuliah?” 

“Eh... enggak, sih. Ini lagi acara Penerimaan Mahasiswa Baru.” 

“Kamu selalu gak bisa nentuin prioritas, ya? Dari dulu pasti harus aku yang ingetin kamu.” Darrel mulai terdengar kesal. 

“Ini PMB-INB... ini acara kampus, Darrel.” Aya membantah. 

“Bukan kuliah, kan? Emang kalau kamu gak ikutan PMB tiba-tiba INB jadi gak bisa ngadain PMB gitu?” 

“Ya enggak, juga. Tapi ini acara resmi...” Suara Aya mulai melemah. 

“Pacar kamu baru balik dari Palembang, bela-belain balik ke Bandung demi kamu, terus kamu masih aja milih acara gak penting?” Nada suara Darrel mulai meninggi. “Gini, ya, Ay. Aku tuh baru nyampe semalem. Kalau bisa, aku samperin kamu ke INB. Tapi aku baru nyampe. Kamu tahu gak sih ini aku bisa balik Bandung aja udah perjuangan. Terus kamu buat aku aja enggak ada usahanya?!” 

“Tapi...” 

“Emang gak bisa banget izin duluan? Kampus macam apa yang gak ngebolehin mahasiswanya punya urusan pribadi?” 

“Darrel... sebentar...” 

“Ah taik, lah! Percuma gua balik! Buat siapa gua balik? Buat lu! Gua inget ya sebelum pergi gua janji! Lu langsung anggep gua langsung ga ada gitu? Harga diri lu.... ah!” 

Telepon ditutup. Tangan Aya bergetar. Matanya mulai terasa basah tetapi Aya berusaha keras untuk tidak meneteskan air mata. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya sambil mendongak. Berharap air mata itu kembali ke dalam mata atau mengering terkena udara sekitar. Ia tidak boleh terlihat menangis oleh Ghina mau pun Nia. Tapi kata-kata Darrel sangat menusuk dadanya. Baru kali ini cowok itu berkata kasar padanya. 

“Ya? Kenapa?” Ghina dan Nia keluar dari koperasi, dengan barang-barang seadanya, menghampiri Aya dengan tergesa. Mereka menyadari air muka Aya yang tidak beres. Matanya berkaca-kaca dan merah, bibirnya terlihat bergetar. 

Ketika Nia mengelus punggungnya, tanpa bisa dibendung lagi, Aya menumpahkan air matanya di dalam tangannya sendiri. Ghina dan Nia segera menutupi Aya dari pandangan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Setelah air matanya mulai sedikit kering, kedua temannya segera membawa Aya ke tempat duduk yang lebih sepi di belakang koperasi. Beberapa mahasiswa dari unit Lembaga Film Mahasiswa ada di sana tetapi mereka duduk di ujung lorong, membuat Aya leluasa untuk menangis pada Ghina dan Nia. Ia menceritakan dengan singkat apa yang terjadi dan siapa yang menelepon. 

“Dia, kok, tiba-tiba muncul?” Nia bergumam. 

“Gak tau... dia bilang dia mau cerita.” Aya mengusap matanya dengan tissue yang diberikan oleh Ghina. “Tapi kan... aku udah nganggap putus sejak lama. Dia aja gak ngabarin.” 

Ghina dan Nia tidak menjawab, hanya mengusap-usap punggung Aya dengan penuh simpatik. Karena sejujurnya mereka pun tidak tahu harus melakukan apa. Dalam keheningan sejenak itu, ponsel Aya tiba-tiba berbunyi. Mereka semua menatap ponsel Aya yang diletakkan di atas pangkuannya sejak tadi. 

“Barra nelpon angkat aja, Aya.” Nia, yang duduk di sebelah kanannya, menyenggol siku Aya pelan. 

Lihat selengkapnya