“Ngapain kamu ke sini?”
Darrel menatap Aya yang berdiri di hadapannya dengan keringat di keningnya karena ia berjalan dari depan komplek ke dalam selama sepuluh menit di bawah cuaca panas. Aya membuka topinya yang berwarna hijau tentara dan terpaksa menyunggingkan senyumnya.
“Kamu bilang mau cerita?” Aya menghela napas. Ia harus menyelesaikan semuanya sekarang, agar dirinya tidak dilanda rasa bersalah.
Darrel membuka pintu kosannya lebih lebar untuk membiarkan Aya masuk. Sedikit ragu Aya membuka sepatunya dan menatap ke sekeliling kamar Darrel. Tidak ada yang berubah. Kamarnya kecil dan bersih dengan kamar mandi di ujung kamar. Furnitur kayunya membuat kamar kosan kecil itu terasa nyaman.
Darrel berjalan ke pojok ruangan di dekat dapur kecilnya di sebelah pintu kamar mandi. Ia duduk di sana sambil menonton TV kecil yang disimpan di atas meja makan mini yang cukup untuk dua orang. Wajahnya cemberut dengan alisnya yang berkerut.
Aya berdiri di sebelah TV sambil menatap Darrel yang seakan menganggapnya tidak ada. Ia menunggu sementara Darrel masih menonton. Dua koper besar ada di dekat tempat tidurnya, satu terbuka dengan barang-barang setengah keluar dan koper satunya masih tertutup rapi lengkap dengan stiker bandara yang masih menempel.
“Aku udah jauh-jauh ke sini dari kampus,” ujar Aya mulai tidak tahan. “Katanya kamu mau cerita ke mana kamu selama ini, tapi aku malah dicuekin.”
“Yang katanya gak bisa izin kan bukan aku.” Darrel bicara tanpa menatap Aya, malah ia tertawa menonton acara di Tvnya. “Lagian dari Dago ke sini emang sejauh apa, sih? Gak sejauh dari Bandung ke Palembang, kan?”
Aya merasa disengat lebah dan ia jadi marah.
“Bukan aku yang ngilang ampir tiga bulan gak ada kabar SAMA SEKALI!” Aya menghalangi TV dan berkacak pinggang dengan kesal, membentak Darrel yang tersentak kaget.
“Minimal kamu datang dulu aja dengerin aku mau ngomong apa!” Darrel balas membentak Aya. “Sok penting gak bisa izin. Ini apa? Kamu bisa kan!”
“Ya karena terpaksa! Aku bohong! Bilangnya ada urusan keluarga!”
“Nah, apa susahnya kan, bohong?!” Darrel berdiri di hadapan Aya. “Aku udah bela-belain buat kamu, kamu cuma bohong dikit untuk ketemu aku aja ribut banget kayak udah menyelamatkan dunia!”
“Kamu tau kan, itu kampus emang impian aku? Makanya aku gak mau kelewat kegiatan apa pun di kampus!” Aya membentak namun kini dengan nada memohon.
“Gak usah sok pinter mentang-mentang medali olimpiade nasionalnya banyak!” Darrel mendengus, tertawa sambil mengibaskan tangannya seakan-akan menghalau lalat yang mengganggunya. “Masuk INB doang bangga! Bangga tuh kayak kakak-kakak aku! Mereka kuliahnya di luar negeri! Masih dalam negeri doang emang jaminan apa? Emang abis kuliah kamu langsung dapet kerja?”
“Omongan kamu kenapa tiba-tiba ke sana?!” Aya mengerutkan dahinya, merasa tertohok.
“Karena kamu tuh sombongnya keterlaluan!” Darrel menunjuk wajah Aya yang kini mulai meneteskan air mata. “Kamu baru kuliah aja udah kayak gini! Kamu tau gak, demi kamu aku gak mau kuliah di luar negeri sama kakak-kakak aku!”
Mereka terdiam, napas memburu karena mereka berdua dilanda emosi.
“Kamu gak tau, kan!” Darrel membuang muka dan segera duduk di atas kasurnya, di antara barang-barangnya yang masih berantakan. Cowok itu menunduk dengan punggung yang melengkung lesu. “Aku dipaksa pulang,” mulai Darrel masih menunduk, “aku diancam gak akan dikasih uang bulanan lagi kalau enggak pulang. Aku diancam mobilku bakal diambil kalau gak pulang.”
Aya tanpa sadar menahan napasnya, memandangi Darrel yang tadi mengamuk tapi kini ia terduduk lesu.
“Waktu pulang aku ditahan, gak boleh balik Bandung. Kakak-kakak aku pulang dari Singapur, bujukin aku nurut sama Papa. Mama sampai nangis, karena aku milih stay di Bandung, karena aku milih kamu.” Darrel mengangkat wajahnya. “Hapeku diambil. Aku mati-matian belain kamu. Aku gak pernah bilang aku di Bandung pingin sama kamu. Aku cuma bilang aku pingin jadi mandiri doang, gak mau bareng kakak-kakak aku karena sama aja aku gak mandiri.”
Aya mulai menangis dalam diam. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak mau melihat bahu yang layu yang biasanya tegap dan gagah saat Darrel bermain basket.
“Kamu sempet video call sama Riki,” tuntut Aya.
“Itu pake hape paman aku!” Darrel mengempaskan tangannya di udara. “Aku minta tolong Riki untuk kabarin Rangga untuk jagain kosanku. Soalnya Rangga yang rumahnya paling deket sama kosanku.”
“Kenapa gak nelpon aku?”
“Karena waktunya sempit! Ngerti gak, sih!” Darrel mengacak-acak rambutnya frustrasi. “Aku cuma punya waktu sebentar banget untuk pake hape paman aku, dan aku cuma kepikiran kalau aku balik lagi ke Bandung, aku harus punya tempat tinggal. Makanya aku telpon Riki. Demi kamu!”
Jeda lagi melanda.
“Aku cuma pingin ke Bandung lagi,” Darrel bangkit dari duduknya, menghampiri Aya dan meraih tangan gadis itu dengan perlahan. “Karena menurut aku, kamu itulah tempat aku pulang.”
Aya mengusap air matanya yang jatuh dengan tangan kirinya yang bebas sementara tangan kanannya digenggam erat oleh Darrel.