Bara dalam Sekam

Al Szi
Chapter #12

MUNDUR

“Aku nungguin kamu nelepon hari ini,” ujar Barra di seberang telepon ketika malam itu mereka saling memberi kabar. 

“Aku dianterin pulang,” jawab Aya sambil mengempaskan dirinya di atas kasur. Ia sudah siap dengan piyama, buku, boneka paus dan lampu tidurnya. 

“Gimana...?” Barra bertanya, menggantung. Cowok itu seakan ragu atau tidak tahu apa yang harus ditanya. 

Aya menghela napas dan menceritakan apa yang terjadi dengan sisa hari itu. Ia merasa aneh, ternyata ia bisa lepas dari Darrel dengan mudah mengingat saat terakhir kali mereka bertemu seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua, dan seakan-akan mereka akan bersama selamanya. Aya tidak pernah menceritakan kejadian sore itu pada siapa pun. Tidak ada yang boleh tahu. Termasuk Barra. 

“Semoga Darrel gak akan ganggu kamu lagi, ya.” Barra menghela napas di seberang telepon. 

“Iya. Aku berharap dia bisa move on. Aku udah susah payah move on dari dia.” Aya bergumam pelan. 

“Ya udahlah, bukan salah kamu, bukan salah si Darrel juga. Keadaan aja yang kurang tepat kalian jadi salah paham.” Barra berusaha menenangkan Aya. “Kamu beneran udah lupain dia sama sekali?” 

“Gimana, ya?” Aya menatap langit-langit kamarnya. “Kenangan sama dia gak akan bisa dilupain. Tapi rasanya udah gak kayak dulu aja. Ini tuh kayak... aku udah amnesia, ketemu orang baru, terus orang yang udah lama aku lupain mendadak datang dan ngaku-ngaku kalau dia pacar aku. Kan aku enggak bisa tiba-tiba membuang orang baru gitu aja, karena pacar lamaku udah lama ninggalin aku. Aku bukan makanan yang bisa disimpen di dalem kulkas terus dikeluarin kalau lagi pengen doang.” 

“Ngerti.” Barra menyahut pelan. “Jangan dipikirin lagi, Ya. Dan jangan merasa bersalah juga. Soalnya ini bener-bener bukan salah kamu. Kalau aku jadi kamu juga pasti aku udah nganggap kalau dia nganggap putus.” 

Aya tersenyum. Hatinya sedikit terhibur, walau pun dalam hati kecilnya ia sedikit merasa bersalah. Demi dirinya Darrel rela tidak sekolah di luar negeri bersama kakak-kakaknya, membantah orang tua, masuk sekolah swasta yang dianggap universitas buangan... Ah, bukan. Itu bukan salah Aya, kan? 

 

“Halo...” Aya mengangkat telepon dari Darrel dengan ragu. Sudah hampir seminggu sejak kejadian mereka resmi putus dan baru kali ini ia mendapat kabar lagi dari Darrel. 

Aya duduk dari tidurnya dan segera menutup pintu kamarnya, takut kalau kakaknya menguping. Ia sedang menikmati hari Minggunya dengan santai setelah dua minggu penuh jadwalnya padat karena kegiatan PMB. 

“Hai, Ay... eh, sori. Ganggu ga?” sapa Darrel dengan suara lembut. 

“Eh.. Rel. Um... enggak, sih. Aku lagi santai aja.” Aya menggigit bibirnya. 

“Sori banget aku nelpon gini,” mulai Darrel. “Soalnya... ah, aku kok cengeng banget ya.” 

Aya menunggu, terdiam. 

“Aku pingin cerita sama kamu. Soalnya biasanya juga aku cerita sama kamu,” Darrel melanjutkan, “... Tapi aku inget, kamu bukan pacar aku lagi. Tapi... aku gak punya siapa-siapa yang bisa aku ajak ngobrol kayak gini.” 

“Rel... maaf...” 

“Bukan salah kamu. Aku yang salah.” Darrel terdiam sejenak sebelum melanjutkan, “Aku cuma pingin cerita, kalau kamu gak mau respon gak apa-apa. Kemarin-kemarin aku udah daftar ke UNTEK. Aku boleh kuliah di bandung, asal ngambil kuliah Manajemen Komputer. Aku nurut aja sama Papa, aku enggak punya tujuan apa-apa, sih.” 

“Bagus, kok, Manajemen Komputer,” komentar Aya berusaha menghibur walau pun ia diberikan hak untuk diam. Aya merasa tidak baik juga membiarkan Darrel bicara sendiri. 

“Iya, sih. Tapi kalau boleh bilang, aku dari dulu suka basket,” Darrel tertawa pelan sementara Aya berpikir kalau Darrel tidak jago-jago amat, “... kalau boleh sih, aku pinginnya kuliah jurusan olah raga aja, biar bisa jadi pelatih basket. Kan jarang, tuh, ekskul basket SD yang serius.” 

“Mmm... kalau jaman sekarang pasti adalah yang mulai serius kali, ya... Lagian kenapa juga harus SD?” 

“Yaaa... Aku kan selalu suka anak-anak. Makanya aku pingin serius di sana. Tapi yah... syarat aku kuliah di Bandung harus ambil jurusan yang bisa kerja kantoran, bisa gajinya gede.” Darrel tertawa hambar membuat Aya mau tak mau membalas tawa Darrel yang tak kalah hambar. 

“Nyindir banget kalau gaji guru gak bisa gede,” jawab Aya. 

“Apalagi cuma pelatih basket, palingan tiga ratus ribu. Bahkan nyampe empat ratus ribu aja gak akan. Kata temen-temenku yang ortunya guru honorer, sih, gitu ya.” Darrel meringis. 

“Terus, gimana? Udah daftar UNTEK?” 

“Udah. Untung swasta. Aku daftar pas mereka udah masuk perkuliahan aja kayaknya boleh, deh! Yang penting bayar!” Darrel tertawa lagi. 

“Gak gitu, kali!” Aya ikutan tertawa. 

“Yaaa... bercanda.” Darrel menghela napas. “Sekarang aku tinggal mikirin nyari kos-kosan di deket UNTEK, deh! Semoga cepet dapet, soalnya mau masuk sebentar lagi. Bakal susah kayaknya, soalnya kan sendirian nyariinnya.” 

“Riki sama Rangga emang ke mana?” 

Lihat selengkapnya