Darrel berlari tergesa memasuki sebuah kafe kecil yang lumayan sepi di sekitaran Simpang Dago. Ia memang belum pernah ke sana, bukan bagian dari wilayah kekuasaannya karena kampusnya berada di bagian bawah Dago. Tetapi ia mendengar suara Aya yang marah memintanya bertemu di kafe itu jelas saja membuat cowok itu dengan segera menyambar kunci mobilnya tanpa mengganti pakaian. Celana pendek sebatas lutut dan hoodie abu-abu yang masih sempat diambilnya membuatnya sedikit menggigil kedinginan. Kafe itu suhu AC-nya seperti kutub utara!
Darrel mendapati Aya duduk agak di bagian belakang kafe, dekat dengan jalan menuju pintu staff kafe. Ia menghampiri Aya dan duduk di hadapan gadis itu tanpa tedeng aling-aling. Aya mendongak dan menatap Darrel dengan matanya yang masih sembap karena setelah sampai di kafe ia sempat menangis sebentar di toilet kafe.
“Kamu kenapa?” Darrel memandang Aya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
“Kamu.” Aya bergumam sambil menunduk.
“Kenapa aku?” Darrel menunduk, berusaha menatap wajah Aya yang menunduk dalam.
“Kamu ngapain ngehubungin Barra?” Aya mengangkat wajahnya dan menatap Darrel dengan penuh kemarahan. Darrel mundur dan melipat kedua tangannya di depan dada, membuang muka. “Buat apa? Buat jauhin dia dari aku? Lagian... kok kamu bisa tau nomor hape Barra?”
Aya mengulurkan tangannya ke depan, menarik lengan jaket Darrel, meminta penjelasan. Darrel menarik napas, menahan emosinya.
“Kamu ninggalin hape kamu di mobil waktu itu,” jawab Darrel akhirnya. “Aku inget, waktu aku nelpon kamu di kampus ada temen kamu yang nyebut nama Barra. Aku buka hape kamu dan bener. Banyak banget chat dari si setan itu.”
“Darrel... itu hapeku! Itu privasiku! Kamu sendiri yang bilang kalau hape itu privasi orang!” Aya berbisik kesal sambil menggenggam jaket Darrel kuat-kuat. Ingin hati memukul cowok di hadapannya sampai ia puas.
“Kamu bohong sama aku.” Darrel memajukan tubuhnya agar hanya Aya yang bisa mendengarnya bicara. “Kalau kamu bohong, aku berhak tau isi hape kamu. Karena kamu nyembunyiin banyak hal di sana.”
“Aku enggak nyembunyiin apa-apa dari kamu. Kamu yang pergi dari aku, tanpa kabar. Wajar aku anggap kamu gak akan balik lagi.”
“Enggak wajar, Aya. Kamu selingkuh. Pacar kamu belum tentu mati, belum tentu mutusin kamu. Mana boleh kamu deket sama cowok lain sebelum aku bilang kalau kita udahan?”
Aya menarik diri ke belakang, menatap Darrel dengan tidak percaya. Ternyata selama ini kebaikan Darrel adalah kemarahan yang disembunyikan. Darrel yang mengatakan kalau hanya memiliki Aya, berharap bisa berteman baik karena ia tidak punya siapa-siapa di Bandung adalah bohong.
“Darrel, tolong jangan ganggu aku lagi.” Aya bangkit dari kursinya dan meninggalkan Darrel di meja.
Ketika ia berdiri di pinggir jalan untuk menyetop angkot tiba-tiba lengannya ditarik dari belakang. Aya menoleh dan menatap Darrel dengan tatapan benci. Ia meronta, berusaha melepaskan diri dari Darrel.
“Aya... aku anter kamu pulang.” Darrel berkata dengan nada memohon. “Aku enggak mungkin bahas kayak ginian di kafe yang bisa aja didenger sama pegawainya yang enggak ada kerjaan itu.”
Aya melengos. Ia tidak peduli.
“Aya.... Aku gak bisa biarin kamu pulang sendirian.”
“Aku mau pulang. Aku gak mau urusanku sama kamu lebih panjang lagi. Aku cuma mau kamu jangan urusin lagi urusanku. Cari temen baru, Darrel.”
“Aku gak bisa. Aku cuma punya kamu.” Darrel mengencangkan pegangannya. “Tolong, Aya. Tukang parkirnya udah mulai ngeliatin. Kamu mau kita jadi tontonan gratis orang di pinggir jalan?”
Aya menoleh dan tukang parkir yang bersandar pada mobil tidak jauh dari mereka mulai menatap mereka dengan tatapan penasaran. Aya menatap wajah Darrel yang matanya sudah mulai memerah dan berair. Sambil menghela napas ia akhirnya berjalan menuju mobil Darrel. Mereka meluncur dengan mulus keluar dari parkiran kafe.