Di kampus, Aya menganggap Barra seperti teman-teman sekelasnya yang lain. Ia bersikap seakan-akan mereka tidak pernah dekat. Beberapa teman Aya sempat mempertanyakan itu semua. Bagaimana tidak, mereka berdua selalu bersama di mana pun. Untungnya Aya akan selalu memiliki jawaban, kalau mereka dulu satu kelompok PMB dan setelah memasuki perkuliahan sebenarnya otomatis mereka sibuk dengan masing-masing.
Tidak dapat dipungkiri, walau pun Aya mencoba bersikap biasa, tetapi melihat Barra dekat dengan gadis lain sedikit membuatnya sakit hati. Ia sudah curiga pada Tia sejak awal. Beberapa kali, dengan dalih harus satu kelompok dengan Keisha yang ingin satu kelompok dengan Reggie, gadis itu sering sekali menempel dan bahkan pernah pulang ke Jakarta berdua saja dengan Barra. Kembali dengan dalih rumah gadis itu berdekatan dengan rumah Barra di Jakarta. Dan semenjak Barra memutuskan hubungan yang tidak pernah menyatu, Tia terus-terusan menempel pada Barra.
Ia pernah menyukai Barra dengan serius. Dengan kembalinya Darrel dalam hidupnya tidak serta-merta Barra hilang sepenuhnya dari hatinya. Hubungan yang tidak pernah dimulai, sulit untuk diakhiri.
Namun demi hubungan yang harmonis antara dirinya dan Darrel, Aya pun dengan suka rela selalu menyambangi kampus Darrel. Terkadang mereka nongkrong di kos-kosan Darrel yang baru yang jaraknya sangat dekat dengan kampusnya. Aya merasa ia kembali SMA dengan pacar masa SMAnya dan juga kebiasaan mereka sejak SMA; menonton di laptop Darrel sambil makan.
“Aya, kelompoknya ngambil nomor undian,” ujar Eka teman sekelasnya. Eka menunjuk kotak sepatu bekas di atas meja dosen sementara teman-temannya yang lain sedang antre untuk mengambil nomor.
“Aduh, gak bisa kita langsung sekelompok aja gitu?” Aya cemberut.
“Semoga kita sekelompok, deh! Aku dapet nomor 5.” Eka menunjukkan kertas kecil di tangannya.
Aya beringsut ke depan kelas, ikut mengantre nomor. Anak-anak yang sudah mengambil nomor mulai berkumpul sesuai nomor kelompok mereka masing-masing.
“Semoga aku sama Aya,” ujar seseorang di belakang Aya sambil memeluk bahu gadis itu dengan penuh harap.
“Aku juga mau sama Aya,” sahut yang lain tak mau kalah.
“Aku dimanfaatkan,” keluh Aya sambil bergurau.
“Ya dong, masa anak olim dianggurin.”
Aya maju, merogoh kotak sepatu di hadapannya dan memandangi nomor kelompoknya, tujuh. Aya menoleh ke teman di belakangnya dan menunjukkan kertas undiannya.
“SEMOGA TUJUUUUH BARENG SAMA AYAAAA!” Si anak itu lalu mengocok-ngocok kotak sepatu seperti dukun gila. “Yaaaaah... enam!”
Aya tersenyum kecewa dan segera mengambil barang-barangnya dari kursinya. Ia memindai ruang kelas dan beberapa orang melambai dari satu sudut. Mereka mendengar si anak dukun gila menyebutkan Aya kelompok tujuh. Aya berjalan dengan riang ke kelompok tujuh dan sedikit tertegun selama sepersekian detik melihat Barra duduk di sana.
“Yeesss!! Dapet Aya!” Keisha menyambut Aya dengan gembira sambil bergeser agar Aya bisa duduk di sana. Aya berusaha tersenyum tulus dan duduk di tempat yang tersedia.
Setelah menunggu semua mendapat dan bergabung dengan kelompok mereka masing-masing, akhirnya kelas mulai serius dan mendengarkan pengarahan lebih lanjut. Keisha dengan bahagia menggandeng lengan Aya di sebelahnya dengan sesekali pekikkan bahagia ketika melihat tugas kelompok mereka.
“Nah, kita harus nugas kapan, nih? Lebih cepet lebih bagus.” Barra yang pasti akan selalu dinobatkan jadi ketua kelompok memulai diskusi.
“Sore ini oke, di sekitaran kampus aja biar gampang.” Keisha menjentikkan jarinya dengan semangat. “Aya anak Bandung, kan? Rumahnya di mana?”
Aya meringis kecil, karena rumahnya sangat jauh, biasanya orang-orang akan malas mengantarnya pulang. Jauh dan pula daerah yang terkenal sangat macet.
“Kopo,” jawab Aya malu-malu dan beberapa anak Bandung di kelompoknya sedikit meringis. Sudah biasa. Di angkatan mereka sendiri ada tujuh orang, termasuk Aya, yang tinggal di daerah Kopo. Bahkan sudah terkenal, sejak dulu, orang-orang yang tinggal di kopo disebut ROBOKOP, Rombongan Bobotoh Kopo.
“Sama kayak aku,” ujar Fiki, seorang cowok di kelompok Aya. “Pulang bareng aku aja, Ya.”
“Aaaah, cakep, tuh!” Keisha bertepuk riang.
Lalu mereka mulai merencanakan tugas kelompok sementara Aya pusing. Apa yang harus dikatakannya pada Darrel hari ini? Topik Barra adalah topik yang paling dibenci Darrel dan Aya selalu berusaha menghindari menyebutkan Barra dalam ceritanya di kampus. Itu sangat mudah karena Aya selalu menghindari untuk bisa satu kelompok dengan Barra.
Sampai sore, Aya masih cemas. Ia memang sudah mengatakan kalau sore itu dia harus mengerjakan tugas di salah satu tempat makan di sekitar kampus yang memang biasa dipakai untuk mahasiswa sekitar mengerjakan tugas, tapi ia tidak bilang pada Darrel kalau ia sekelompok dengan Barra. Darrel memang tidak bertanya macam-macam, ia hanya kecewa hari itu mereka jadi tidak bertemu.
Tapi kecemasan itu tidak berlangsung lama. Ketika mereka mulai berdiskusi, otak Aya mendadak sangat nyaman. Angka-angka memang makanan sehari-harinya sejak dulu. Teman-temannya pun memandang kagum pada Aya ketika dengan mudah Aya bisa menemukan rumus yang tepat untuk menyelesaikan kasus, dan juga caranya menjelaskan pada teman-temannya sangat mudah dipahami, dan itu membuat Aya semakin senang. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, mereka semua pun menyatakan tugas mereka cukup sampai di sini. Mereka akan berkumpul lagi besok.
Fiki dan Aya pulang dengan damai dan Aya pun sampai rumah dengan selamat. Hari itu Aya merasa lega, ternyata kekhawatirannya tidak terbukti. Darrel tidak bertanya macam-macam, bahkan semalaman ini Darrel hanya satu kali mengecek keadaan Aya di jam 9 malam dan mereka berbalas pesan teks ketika Aya sudah mau tidur.
Pagi itu, ketika Aya selesai mengambil air wudhu untuk shalat subuh, ponselnya bergetar sangat heboh. Ia lupa mematikan mode DIAM semalam. Karena ia yakin itu pasti hanyalah pesan dari grup WhatsApp kelas, Aya mengabaikannya dan lanjut shalat. Sehabis shalat akhirnya Aya menyerah, ia mengintip ponselnya dan hatinya mencelus ketika ada belasan pemberitahuan dari Instragram dan WhatsApp. Dan pesan Darrel ada di paling atas.
ANGKAT TELPONNYA!!!!
Aya membuka ponselnya dengan takut-takut. Ia membuka pesan dari Darrel yang penuh dengan amarah dan caci maki. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dan ketika ia membuka Instagramnya Darrel mengirim juga pesan yang sama. Aya mengamati semua pemberitahuan di Instagramnya dan melihat Keisha menyisipkan akunnya dalam unggahan fotonya. Tapi ketika Aya menyentuh layar untuk melihat, ternyata foto itu sudah tidak ada. Ia berkali-kali mengetuk layarnya dengan kesal tapi tidak terjadi apa-apa.
Ia akhirnya mengirim pesan pada Darrel tapi tanda kecil di bawah hanya ada satu tanda centang warna abu-abu. Aya mengirim lagi banyak pesan menanyakan apa yang terjadi pada Darrel, tetapi tanda centang satu tetap muncul. Aya jadi khawatir, apakah Darrel ponselnya mati setelah semalaman berusaha meneleponnya? Tapi pemikiran itu tidak bertahan lama di kepalanya, karena ia harus segera bersiap-siap ke kampus. Hari ini ada kuliah jam 7 dan lanjut jam 10 pagi, ia harus berangkat jam 6 jika tidak ingin terlambat.
Ketika pagi itu ia sudah sampai kampus dengan selamat dan duduk di bangku sambil membaca bukunya, tiba-tiba Keisha menghampirinya dengan buru-buru.
“Ayaaaaa... maafin aku!” Keisha memelik Aya dan bicara dalam bahu Aya.
“Eh? Kenapa?” Aya memegang tangan Keisha yang melingkar di bahunya dengan heran.
“Semalem kan aku posting foto kita lagi kerja kelompok,” DEG! “Aku tag semua orang. Terus ada yang ngomen...”
“Nama akunnya Darrel Falah?” tanya Aya dengan dada yang mulai terasa linu.
“Iya kayaknya.. Aku lupa. Pokoknya komennya agak jahat. Mau liat? Aku sempet SS sebelum fotonya aku hapus.” Keisha melepaskan Aya dan memperlihatkan ponselnya.
Aya menyondongkan tubuhnya sedikit dan melihat satu komentar dari akun Darrel; Selingkuhnya kurang pinter. Makanya jangan sombong, lagi belajar aja pamer. Foto itu sendiri hanya menampilkan bagaimana mereka semua sedang sibuk dengan buku-buku dan alat tulis mereka semua. Tapi wajah Barra sangat jelas, duduk di ujung meja sementara Aya duduk di ujung satunya lagi.