Bara dalam Sekam

Al Szi
Chapter #17

SELENTINGAN

“Aya, kamu belum selesai ngerjain yang ini?” Eka menghampiri Aya yang sedang sibuk mengetik di laptopnya. Nada suaranya memang terdegar biasa saja, tapi terlihat dari raut wajahnya kalau cewek itu merasa kesal. 

“Ini sebentar lagi selesai.” Aya menjawab tanpa menoleh. 

“Kok belom terus, sih? Kan udah dikasih deadline dari semalem.” Kali ini wajah Eka pun terlihat kesal. 

“Iya, sori. Semalem aku sakit, jadi tidur cepet. Ini sedikit lagi, kok!” Aya mendongak kali ini dan berusaha meyakinkan temannya untuk bersabar sedikit lagi. 

“Harus dikumpulin hari ini, jam 1 paling lambat. Makanya kan dikasih deadline tadi malem, harus diprint.” Eka masih ingin menyalurkan kekesalannya. Sudah beberapa minggu ini Aya selalu lambat pekerjaannya sehingga membuat teman-teman lain terhanbat. 

“Aku yang print, oke?” Aya mengulurkan tangannya dan Eka pun memberikan flaskdisk kecil berwarna merah ke tangan Aya. Aya mendengus tidak saar sambil berusaha bekerja secepat mungkin. Berikutnya adalah UTS Kalkulus, ia harus belajar sejenak sebelum UTS karena waktunya sedikit teralihkan gara-gara pertengkarannya yang terakhir dengan Darrel. 

Ketika ia selesai, akhirnya dengan segera ia menuju Masjid Salman untuk mencetak hasil pekerjaannya dan teman-temannya. Selesai dengan tepat waktu, akhirnya Aya duduk dengan nyaman di kelas untuk ujian kalkulus. Ia menoleh kiri-kanan dan ia menangkap pandangan Eka dan Aya memberikan gestur OK dengan riang tapi Eka malah melengos dan kembali mengobrol dengan teman yang lain. Aya menurunkan tangannya dan baru menyadari semua teman-temannya sedang belajar secara berkelompok. Aya mengingat-ingat, apakah ada kelompok belajar untuk kelas Kalkulus? Ia tidak ingat ada yang seperti itu. 

“Kamu enggak ikut kelompok siapa-siapa?” Tiba-tiba Azizah, atau Ijah, teman sekelasnya yang lain menyapanya karena gadis itu duduk tepat di depan Aya. Ijah sedang berkumpul dengan Fiki dan dua teman lain yang Aya sampai lupa namanya. 

“Emang ada kelompok apa?” Aya tertawa gugup. 

“Enggak resmi, sih. Cuma kelompok belajar aja. Soalnya kan dapet kumpulan soal-soal dari kating tea geuning (itu lho), biar gampang peredarannya jadi dibikin kelompok-kelompok buat belajar bareng.” Ijah menjelaskan sambil tersenyum ramah. ”Kamu enggak ikut kelompok siapa-siapa?” 

Hati Aya langsung terasa anjlok sampai dasar bumi. Tidak ada yang memberi tahu, tidak ada yang mengajak, tidak ada informasi akan itu. 

“Kumpulan soal?” Aya hanya bisa merespon itu saja. 

“Kan ada di grup.” Ijah menunjuk ponsel Aya yang ada di atas mejanya. 

Aya segera mengambil ponselnya, membuka aplikasi chat dan mengecek isinya. Ia menggulung layar terus ke bawah sampai akhirnya ia menemukan percakapan itu, beberapa minggu yang lalu. Aya menatap obrolan teman-temannya dan menyadari kalau ia melewati percakapan itu. Kenapa? Mungkin karena Barra adalah orang yang membagikan berkas digital itu dan Aya langsung menutup ponselnya karena sedang bersama Darrel? Bisa terjadi. 

“Mau ikut belajar bareng sama aku?” Ijah yang sepertinya menyadari kepanikan Aya melambaikan tangannya di depan wajah Aya dengan pelan. ”Ada Fiki, Neal sama Tian.” 

Aya mendongak dan memandang teman-teman yang disebut Ijah. Mereka-mereka yang disebut namanya tidak memandang Aya, mereka semua sedang sibuk mencoret-coret lembaran kertas di atas meja mereka sambil berdiskusi. 

“Masih bisa?” Aya bertanya, berharap walau pun ia bisa mengerti kenapa ia tidak diajak berkelompok. Ia melirik Fiki sekilas karena cowok itu juga salah satu orang yang terkena dampak atas ketidak tanggung jawabannya atas kelompok mereka terakhir kali. 

Ijah menoleh mengikuti pandangan Aya dan ia pun melambaikan tangan sambil berkata, ”Udah aku bilangin kok sama mereka aku mau nambahin anggota.” 

“Oh... oke. Kalau boleh aku mau ikut.” Aya mengangguk lega dan Ijah pun menggeser tubuhnya agar Aya bisa bergabung di mejanya. 

Sepanjang hari itu Aya merasa kesal dan menyesali apa yang terjadi. Setelah ujian hari itu berlalu Aya terus merenung dan menyadari bahwa memang salahnya yang selalu terbang ke samping Darrel tanpa peduli pada dirinya sendiri. Untuk meyakinkan Darrel. Untuk membuat Darrel percaya padanya bahwa untuk Aya hanya ada Darrel di hidupnya. 

Keesokan harinya, Aya bertekad akan mengerjakan semua UTS dengan baik dan tidak akan teralihkan dengan apa pun. Walau pun ia sekali lagi menjadi orang yang sendirian di antara semua anak-anak yang belajar dan membahas bersama kumpulan soal sebelum ujian, Aya tetap belajar dengan tekun tanpa kumpulan soal itu. 

Ketika istirahat makan siang hanya Aya yang tinggal di kelas seorang diri, belajar sampai detik terakhir karena ia menyadari walau pun ia mengerjakan tugas dengan baik tetapi ujian tengah semester memiliki level yang berbeda. 

Suara getar ponsel di atas meja membuat Aya berhenti sebentar dari kegiatannya menghitung rumus Fisika. Di atas mejanya hanya ada sebuah termos tahan dingin yang berisi es kopi hitam guna membantunya untuk tetap bangun. Ia meraih termos itu dan membuka bagian sedotannya sambil membalik ponselnya agar bisa melihat layarnya, tadi ia sengaja mengarahkan layar ke bawah agar tidak tergoda untuk mengintip dan sekadar membuka Instagram dan melihat-lihat klip pendek. 

Darrel menelepon. Hatinya bimbang untuk mengangkat karena sejak pertengkaran mereka yang terakhir Aya belum sempat menghubungi lagi Darrel. Ia malah merasa bersyukur karena ia bisa fokus UTS sejenak sebelum membujuk Darrel untuk tidak marah lagi padanya. Bukankah Darrel akan selalu ada untuknya? Jadi tidak usah terburu-buru meninggalkan tugas-tugas UTS-nya untuk membujuk yang sudah pasti akan bisa dibujuk dan kembali ke sisi. 

Setidaknya Aya berpikir begitu, walau pun kenyataannya Darrel berpikir sebaliknya. 

“Jadi sekarang udah gak butuh gue lagi?” 

Aya mendengar suara dingin, kejam, dan menusuk Darrel di seberang telepon. 

“Hai.” Sapa Aya berusaha bersikap biasa. “Aku lagi masa UTS, Rel... Nanti aja dulu, ya.” 

“Jadi gue tuh bukan apa-apa banget, ya?” Darrel mendengus dan tertawa sinis. 

“Darrel... aku lagi belajar buat UTS selanjutnya. Kemarin-kemarin gak sempet belajar lama. Kita berantem terus...” 

Lihat selengkapnya