Hari ini adalah hari yang paling Pratiwi tunggu-tunggu dalam tiga tahun belakangan ini. Untuk menyambutnya, setiap sudut rumah sudah ia sapu sebersih-bersihnya. Pratiwi memastikan tidak ada debu masuk meski itu hal mustahil. Tak jauh dari rumahnya, truk pembawa batu bara lalu lalang ke sana kemari melewati jalan meliuk-liuk naik turun bukit. Jika ada angin kecil saja, partikel-partikel penyebab batuk itu akan masuk melalui berbagai celah ventilasi. Siapa mau menyalahkan angin tak berdosa itu?
Akhirnya Pratiwi mengambil kain pel padahal kemarin siang ia sudah mengepel seluruh bagian rumahnya. Lantai rumahnya sudah bersih namun cepat sekali kembali kotor lagi. Tangannya masih terasa pegal-pegal, kadang ada bunyi krek cukup keras, faktor usia tulang yang sudah tidak sekuat dulu. Belum lagi suara berisik dari mesin keruk buldoser dan bertubi-tubi klakson truk—semuanya menyatu menjadi satu, mengubahnya menjadi energi negatif.
Pratiwi mendesah keras, namun begitu melihat foto keluarga dengan nuansa jadul terpampang jelas di atas meja TV, ia mengurungkan diri untuk mengeluh. Foto itu memperlihatkan potret dirinya waktu belum begitu terlalu tua. Pratiwi sedang mengendong Sadewa si balita dan seorang bapak berwajah sangar sedang menggandeng tangan Nakula si bocah cilik. Belum ada keriput di wajahnya, Pratiwi anggun mengenakan kebaya adat Bali sementara para pria memakai baju safari Bali berwarna putih. Potret diri yang terbingkai itulah sumber energi positif baginya. Dan bukankah ini hari yang paling ia tunggu-tunggu karena salah satu dari sosok dalam foto itu akan datang mengunjungi rumah ini.
Sadewa, anak bungsunya akan terbang dari Jakarta. Ini hari besar, selain besok adalah Hari Raya Nyepi dan sekarang akan ada pesta ogoh-ogoh, hari ini anaknya akan mengunjungi rumahnya. Ibu mana yang tidak girang mendengarnya. Ibu mana yang tidak senang dikunjungi anaknya yang merantau jauh. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Tiga kali Nyepi dan tiga kali pergantian Tahun Baru Saka Pratiwi tidak berjumpa secara langsung dengan anak satu-satunya yang masih hidup itu, maka ia menyebut hari ini sebagai hari terbaik sepanjang masa.
Kabar dari Sadewa bahwa ia akan pulang telah menghidupkan bunga-bunga yang ada di hati Pratiwi. Ia seperti pemeran dalam film Bollywood ketika hendak berjumpa dengan pujaan hatinya—diiringi alunan musik mendayu-dayu di taman padang hijau. Sebuah gambaran sempurna nan romantis, bedanya mereka adalah pasangan muda-mudi sementara hubungan Pratiwi dengan Sadewa adalah hubungan kasih antara seorang ibu dan sang buah hati.
Pratiwi sudah menyiapkan makanan terlezat kesukaan Sadewa, babi guling sambal matah. Sadewa paling suka bagian kulit babi muda yang krispi dan berminyak itu. Pratiwi tidak mempermasalahkan dirinya membongkar sedikit celengannya, asal Sadewa senang dan teringat masa-masa indah di rumahnya saja sudah membuatnya amat sangat bersyukur.
Sadewa baru mengabari Pratiwi seminggu yang lalu. Katanya ia ada urusan penting sehingga ia harus segera menemui Pratiwi. Pratiwi tahu betul Sadewa orang sibuk. Ia memakluminya. Jakarta tidak memberikan kesempatan bagi orang-orang seperti Sadewa untuk bersantai-santai seperti dirinya. Jakarta adalah kota tanpa istirahat dan begitulah kalimat yang sering Pratiwi dengar darinya melalui sambungan telepon. Meski Pratiwi terserang penyakit rindu, ia tidak menyalahkan Sadewa kenapa ia tidak pernah pulang tiga tahun belakangan. Lagi pula zaman sudah canggih, mendengar kabar melalui sambungan telepon bahwa Sadewa dalam keadaan sehat di tanah rantau seberang pulau sana saja sudah membuat Pratiwi lega setiap harinya.
Namun berjumpa secara langsung berbeda rasanya dengan berbincang lewat telepon, ibarat makan bakso dilengkapi sambal kecap dengan makan bakso tanpa tambahan bumbu apapun, rasanya berbeda jauh. Bertemu langsung sama artinya Pratiwi melihat wajah Sadewa secara langsung di depan mata kepalanya sendiri tanpa penghalang layar. Pratiwi bisa mendengar suaranya dengan jelas tanpa bantuan pengeras suara dari suatu mesin, dan tentu Pratiwi bisa mencium aroma Sadewa yang tidak akan pernah tergantikan oleh alat komunikasi canggih manapun.
Sebentar lagi Sadewa akan berjumpa dengan Pratiwi dan tentu saja Sadewa akan melihat Bumi, keponakannya yang paling lucu. Sayangnya di saat momen-momen terbaik seperti ini Bumi justru jatuh sakit. Ia demam sejak semalam dan hanya berbaring lemah di atas tempat tidur padahal Pratiwi berharap Sadewa bisa mengajak Bumi jalan-jalan atau melihat pesta perayaan ogoh-ogoh nanti sore. Pratiwi sudah memberi Bumi obat penurun demam namun Ida Sang Hyang Widhi Wasa masih setia memberi cobaan untuk anak sekuat Bumi. Baru saja memikirkan Bumi, Pratiwi mendengar tangis Bumi pecah. Tangisnya yang keras langsung menghentikan ritual bebersih beserta lamunan Pratiwi di siang bolong. Pratiwi segera menengok kamar Bumi, meninggalkan kain pel dan ember di ruang tengah.
“Nini, apa Iwa Sadewa sudah sampai Bukit Surgawi?” tanya Bumi terlihat antusias ingin bertemu dengan paman satu-satunya.
“Belum, Bumi. Nanti Nini akan bangunkan Bumi jika Iwa Sadewa sudah tiba di rumah ini.” Bumi menurut perintahnya. Pratiwi pikir Bumi mirip mendiang ayahnya yang selalu patuh perintah, tidak pernah membantah.
Bumi melanjutkan tidurnya, barangkali ia ingin berjumpa dengan ayahnya lewat mimpi, begitu terbangun ia akan melihat sosok pamannya yang mirip dengan ayahnya sedang berada tepat di depan matanya. Terakhir kali Bumi melihat pamannya adalah ketika upacara ngaben untuk ayahnya berlangsung, tepat tiga tahun yang lalu. Bumi yang waktu itu berusia tiga setengah tahun tidak berhenti-hentinya menangis, kemudian ketika Sadewa datang sekonyong-konyong tangisan Bumi mereda. Wajah Sadewa dan Nakula memang mirip, mungkin waktu itu Bumi mengira ayahnya hidup kembali. Waktu itu Bumi belum mengerti betul definisi kematian, ia hanya tahu orang pergi dan datang seiring waktu.
***