Bara Ibu Pratiwi

M Musa Al Hasyim
Chapter #2

Ogoh-ogoh Dedemit Batu Bara

Patung ogoh-ogoh berupa raksasa setinggi dua meter hasil kreasi masyarakat desa sudah terpampang gagah di tengah-tengah halaman pura. Patung berwujud waringin sungsang atau leak beringin itu memiliki mata yang memelotot sangar menatap ke depan dengan gigi taring tajamnya. Rambutnya hitam pekat panjang. Tangannya bercabang-cabang dengan cabang inti berupa tangan raksasa. Di setiap cabang, terdapat akar-akar panjang menjulang dan daun kering di ujungnya. Bagian pinggul dililitkan saput poleng, kain bermotif hitam putih kotak-kotak khas Bali. Tubuh waringin sungsang didominasi warna hitam pekat seperti warna batu bara.

Leak beringin itu memiliki nama lain Dedemit Batu Bara yang katanya melambangkan sifat rakus, tamak, dan serakah dari diri manusia yang terlalu berlebihan dalam mengeksplorasi sumber daya alam. Sifat itu harus segera disucikan dan dikembalikan kepada fitrah manusia yang sejatinya hidup selaras dengan alam, begitu penjelasan Pandita Ida Bagus Raharjo dalam rangkaian sembahyang pangrupukan sehari menjelang Nyepi. Pratiwi tidak pernah lelah untuk bertepuk tangan atas hasil kreativitas masyarakat Bukit Surgawi itu.

“Emang paling bener namanya Dedemit Batu Bara, ia dan perusahaan tambang batu baru sama-sama makhluk paling menyeramkan dan buas yang menyulap sawah menjadi kubangan danau. Ketika batu bara habis, mereka meninggalkan begitu saja dan mencari tempat-tempat baru untuk dikeruk, mungkin sampai satu desa ini habis jadi kubangan danau mereka baru akan sadar. Mereka hanya peduli uang, uang, dan uang. Uangnya pun larinya ke pejabat-pejabat berduit yang punya tambang-tambang itu, yang kaya makin kaya, petani-petani seperti kita semakin merana. Aku mau protes juga percuma. Tahun ini sawahku terancam gagal panen lagi, apalagi kalau bukan karena tambang batu bara terbuka menganga itu,” gerutu Sekar, ibunya Geg Citra. Pratiwi mengiyakan keluh kesah Sekar karena ia sendiri juga mengalaminya.

Beberapa bulan belakangan Pratiwi mendapati air yang mengaliri sawahnya berwarna hitam pekat. Air yang sudah tercampur limbah batu bara itu bukan seperti pupuk yang menyuburkan tanah, air hitam pekat itu berkebalikan dengan fungsi pupuk, air itu justru merusak tanaman padi yang sudah susah payah Pratiwi tanduri. Kehadiran tambang batu bara itu membuat petani seperti Pratiwi menemui banyak masalah-masalah baru. Dulu sebelum ada tambang batu bara terbuka seperti sekarang ini, ia mendapatkan air melimpah dari atas bukit. Airnya pun jernih dan menyuburkan. Bukit sumber mata air itu sekarang berubah menjadi tambang batu bara terbuka. Luasnya berkali-kali lipat melebihi lapangan sepak bola. Kini para petani seperti dirinya hanya mengandalkan air tadah hujan yang datangnya tidak menentu, berbeda dengan tahun-tahun yang lalu. Barangkali ini peringatan pertama dari Tuhan.

“Kalau saja mereka mau membeli sawah punyaku, langkahi dulu mayatku,” lanjut Sekar. “Kamu juga akan mempertahankan sawahmu yang tersisa di Blok 2 kan, Pratiwi?” tanya Sekar. Pratiwi bingung menjawabnya. Ia baru saja menandatangani surat perjanjian jual beli lahan melalui perantara Sadewa sebelum ia datang ke pura. Tapi Pratiwi tidak ingin mengecewakan Sekar, ia mengangguk bohong padahal di hadapannya berdiri pandita suci dan orang-orang taat beragama lainnya yang sedang berdoa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

“Roh jahat itu telah hadir dalam jiwa manusia yang serakah. Lihatlah! Sudah ada berapa hektar sawah disulap menjadi tambang batu bara terbuka, bukit di belakang pura sudah habis tak tersisa, sudah ada berapa kubangan pasca tambang terbuka menjadi kolam sarang bahaya karena tidak direklamasi. Saya mengajak jemaah yang masih memiliki sawah untuk tetap berjuang mempertahankannya meski sekarang kondisi lingkungan semakin sulit, tambang terbuka telah menurunkan kualitas dan kuantitas panen—musim tanam makin sulit dikenali, air yang mengalir dari tambang berwarna hitam dan tercemar, banjir dadakan, dan polusi di mana-mana. Namun semuanya datang bukan tanpa sebab, sejak ada tambang batu bara terbuka yang merajalela itulah semua kerusakan mulai menghampiri desa yang dulu asri ini. Lantas bagaimana nasib anak cucu kita kelak? Apakah kita akan mewarisi alam penuh lubang menganga besar dan pemandangan hitam menggantikan pepohonan hijau? Bagaimana Ida Sang Hyang Widhi Wasa tidak marah?” begitulah cuplikan ceramah Pandita Bagus Raharjo menambah daftar kekesalan Sekar, dan juga Pratiwi terhadap keberadaan tambang batu bara terbuka di daerahnya.

Ada sesuatu yang mengusik hati Pratiwi, ada sesuatu norma yang telah ia langgar. Ada kemarahan Dewi Sri yang tidak Pratiwi dengar meski wujud kemarahannya sudah jelas dibuktikan lewat padi-padi yang gagal tumbuh.

Apakah aku seorang penganut Hindu yang taat sedangkan aku menyerahkan sawah untuk tambang? Aku tidak bisa berkutik di hadapan anakku dan aku tidak bisa menolak permintaannya, itu sebabnya aku berada di persimpangan jalan.

***

“Jadilah perempuan, dan seorang ibu pertiwi yang menyayangi dan merawat bumi. Seorang ibu seperti layaknya bumi ibu pertiwi. Ia melahirkan sebuah alam yang indah, dan kamu seorang perempuan harus menjaga dan merawat anak dengan penuh kasih sayang. Bumi pertiwi sudah memberikan kita anugerah sumber daya alam yang melimpah, jagalah sebagaimana nanti kamu menjaga anakmu. Itulah sebabnya kami menamaimu Pratiwi supaya kelak kamu selalu menjadi ibu bumi pertiwi. Jangan pernah lupa pesan biang ketika kamu sudah menyatu dengan bumi Kalimantan!” ucap Ni Luh Ayu Pertami, ibunda Pratiwi kembali terngiang-ngiang di kepalanya. Seingat Pratiwi, apa yang diucapkan ibunya itu adalah nasihat terakhir ibunya sebelum Pratiwi dan Putu, suaminya berangkat merantau jauh, mengikuti program transmigrasi yang digadang-gadangkan Bapak Pembangunan.

Mulanya Pratiwi menolak ajakan Putu untuk pergi ke Kalimantan. Pratiwi terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Kalimantan dan Bali jelas dua pulau yang berbeda. Bahkan Pratiwi saja belum pernah menginjakkan kakinya di tanah Jawa, lantas bagaimana ia bisa bertahan di Kalimantan. Putu memberi Pratiwi keyakinan dan motivasi. Putu selalu bilang bahwa semua akan baik-baik saja. Di Kalimantan sana, pemerintah menjanjikan sawah dan rumah bagi mereka yang mengikuti program transmigrasi. Pasutri yang baru menikah itu tidak perlu lagi menumpang di rumah orangtua dengan dua puluh empat penghuni di dalamnya.

Saudara-saudara Pratiwi yang masih tinggal di rumah orangtuanya cepat sekali beranak pinak, sampai rumah terasa sesak. Bahkan Pratiwi mengalah untuk menunda masa kehamilannya. Pratiwi tahu hidup di kampung halaman tidak begitu menjanjikan. Pratiwi berasal dari keluarga kurang berada bertemu dengan pria miskin yang juga lahir dari keluarga yang jauh lebih menderita. Sehari-hari Putu hanya buruh tani lepas di sawah milik orang. Bayarannya sangat sedikit, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja masih sangat susah. Masa depan suram menanti di depan mata jika mereka tidak bertindak secepat mungkin untuk keluar dari jeratan kemiskinan akut. Putu tidak ingin Pratiwi terus-terusan menunda kehamilan. Putu ingin segera dipanggil ayah oleh anak tercintanya. Pratiwi pun sebenarnya ingin cepat mengendong anak kandung sendiri namun rumah yang ditempatinya terlalu sempit untuk mereka.

Tawaran ikut program transmigrasi begitu menggoda Putu. Putu mendapat info itu dari Pak Lurah. Tidak banyak yang mau ikut program itu. Pak Lurah sempat pasrah bahkan iming-imingan berupa tanah dan rumah tidak mempan begitu saja. Alasan mereka menolak bermacam-macam namun yang paling santer Pratiwi dengar adalah mereka tidak ingin hidup jauh dari keluarga besar, mereka hidup di Pulau Dewata maka sampai mati dan reinkarnasi pun harus di Bali.

Lihat selengkapnya