Bara Ibu Pratiwi

M Musa Al Hasyim
Chapter #3

Perginya Tamda dan Layang-layang Sadewa

Ketika perusahaan tambang meninggalkan tamda dan menggantinya dengan tambang terbuka, banyak sawah jatuh ke tangan pemilik kapital beserta kroni-kroninya. Mulanya petani mengira tamda dengan tambang terbuka tidak jauh berbeda, hanya beda nama saja. Mereka menyambutnya biasa-biasa saja. Namun begitu sawah-sawah petani adalah taruhannya, masyarakat tampak cemas. Tambang terbuka membutuhkan lahan-lahan terbuka semakin banyak. Putu yang sudah beberapa tahun bekerja di tamda, mendapat tawaran menggiurkan dari tambang terbuka.

Sebelum tawaran itu diberikan kepada Putu, perusahaan memberinya dua pilihan berat, dipecat dari urusan pertambangan atau melepas tiga sawahnya. Putu jelas menolak pilihan kedua namun ia juga tidak ingin menerima pilihan pertama. Keduanya benar-benar pilihan sulit. Tak berhenti sampai situ, jika Putu bersedia melepas sawahnya, ia dijanjikan akan naik jabatan sebagai pegawai tetap dan berkantor di ruangan berpendingin udara di kota. Ia akan ditempatkan di bagian personalia sekaligus dipercaya sebagai ketuanya.

Putu nantinya akan membawahi banyak anak buah yang akan ditugaskan untuk merayu para petani melepas sawahnya. Posisi Putu benar-benar strategis di perusahaan tambang terbuka. Gaji yang akan diberikan Putu tidak main-main, ia akan mendapatkan enam juta rupiah per bulan. Gaji sebesar itu jelas mengalahkan gaji PNS provinsi di daerahnya waktu itu. Apalagi Putu hanya tamatan SMA, gaji sebesar itu justru lebih dari kata layak. Belum lagi uang komisi yang akan Putu dapatkan jika timnya berhasil membujuk petani melepaskan sawahnya. Putu dijanjikan komisi sebesar dua puluh lima persen dari setiap penjualan per hektar sawah yang berhasil jatuh ke tangan perusahaan. Satu hektar sawah dihargai enam puluh juta rupiah. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran manis itu. Namun Putu bukan orang yang mudah dibujuk hanya dengan angka-angka semata.

Putu mengetahui bobroknya tambang batu bara terbuka. Ia menyaksikannya sendiri bagaimana mereka bertindak. Putu hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Perusahaan memanfaatkan Putu yang jago ngomong dan bersosialisasi dengan masyarakat desa. Meski hanya tamatan SMA, Putu pintar dalam merangkai kata. Jika bekerja di kota, Putu barangkali akan sukses sebagai ahli marketing.

Bagi Putu, surat-surat perjanjian di atas kertas hanya menguntungkan pihak perusahaan dan menyengsarakan pihak petani. Skema jual beli yang disodorkan perusahaan tak lebih dari trik licik perusahaan memperkaya dirinya. Putu pun tak habis pikir bagaimana perusahaan-perusahaan tambang terbuka itu bisa lolos izin amdal meski kenyataannya berlawanan jauh. Tambang terbuka jelas akan merusak ekosistem dan menghancurkan rantai makanan hewan-hewan liar. Sumber air bersih juga menjadi taruhannya jika tambang-tambang batu bara terbuka semakin merajalela. Putu mendapat info-info ilmiah itu dari surat kabar langganannya—mungkin itulah yang membuat Putu pintar ngomong dan terlihat pintar di mata rekan-rekannya.

Selepas sembahyang di pura, Putu mendapatkan bisik-bisik dari Para Dewa. Hatinya terasa berat meninggalkan sawahnya. Ia merasa damai dan tentram berada di atas sawah, menyemai tanaman dan mendapatkan hasil panennya dengan suka cita. Ada semacam kekuatan tak kasat mata yang menembus relung hatinya, dan ada kekuatan tak terlihat yang meyakinkan Putu untuk terus mempertahankan ketiga sawah miliknya dari perusahaan tambang batu bara terbuka itu meski ia akan dicoret statusnya sebagai pekerja tambang.

Tak jauh dari sawah Putu, terdapat kuil kecil. Kuil itulah tempat Dewi Sri selalu melihatnya bekerja dengan giat. Putu sering menaruh sesajen sebagai bentuk persembahan supaya Dewi Sri selalu sudi melindungi sawah para petani di desa Bukit Surgawi. Dewi Sri bagi dirinya adalah perwujudan dari dewi padi, kesuburan, penjamin keberhasilan panen, dan lebih penting lagi Dewi Sri merupakan pelindung keluarga dan pemberi kemakmuran.

Padi adalah sumber energi bagi seseorang. Padi sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia karena padi adalah simbol kehidupan. Lantas apakah padi-padi yang hilang akan memberikan kehidupan-kehidupan atau justru malah melahirkan petaka dan bencana. Putu tidak ingin Dewi Sri murka, hatinya semakin mantap, ia tidak akan melepaskan sawah miliknya meskipun tawarannya meluruhkan daun-daun bernama uang untuk diraup sebanyak-banyaknya. Uang bisa dicari namun alam yang rusak tidak akan pernah kembali.

Sepulang dari sawah, wajah Putu terlihat kusut, tidak seperti biasanya. Hari itu Pratiwi sedang tidak ikut Putu ke sawah. Ia baru sembuh dari diare panjangnya sehingga Putu memaksa Pratiwi untuk lebih banyak beristirahat di rumah. Pratiwi yang tidak bisa diam memilih membuat masakan spesial. Kali ini ia sengaja memasak sate lilit sambal kacang kesukaan Putu. Pratiwi berharap kekusutan Putu akan lenyap begitu lidahnya mencicipi kelezatan sate lilit sambal kacang buatannya.

Pratiwi tahu keluh kesah Putu berkaitan erat dengan kehadiran tambang batu bara terbuka. Ia mengetahui permasalahan-permasalahan yang dihadapi sang suami akhir-akhir ini. Pratiwi tidak punya kuasa untuk bertindak. Ia percaya Putu bisa mengatasi segalanya dengan mudah namun ternyata Pratiwi salah. Tambang batu bara terbuka tidak ingin Putu pergi begitu saja atau membiarkan Putu mempertahankan sawah miliknya. Mereka ingin Putu menerima segala tawaran yang disodorkan perusahaan, mengikuti segala kemauannya.

Belum mereda kekusutan Putu, Sadewa kecil menambahinya dengan kekusutan lainnya. Waktu itu Citra datang dengan tergopoh-gopoh mengabarkan jika Sadewa berkelahi dengan Herman, anak Pak Kusuma si kepala desa Bukit Surgawi. Pratiwi tidak ingin gunung kemarahan Putu membesar lalu meletus hebat, ia pun mengalihkan pandangan Citra dari Putu dan menyuruh Citra mengantarkannya ke lokasi kejadian. Namun Putu sudah lebih dulu mengetahui keberadaan Citra dan secara samar-samar mendengar info yang dibawa olehnya.

Lihat selengkapnya