Akhirnya Sadewa mendapatkan tamiya yang baru dibelinya di toko mainan di kota kecamatan. Jarak dari rumah Sadewa ke toko itu cukup dekat jika ia menaiki kendaraan, dan terasa jauh jika ia berjalan kaki. Sadewa jelas menolak pilihan kedua. Tekad kuat Sadewa mampu meruntuhkan keraguan-keraguan akan jarak. Meski Sadewa tidak punya kendaraan, ia tidak kehabisan akal. Ia menebeng mobil pikap operasional milik perusahaan tambang batu bara yang sering bolak-balik desa ke kota kecamatan. Begitulah sampai Sadewa berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini di meja kasir toko mainan serba ada. Sepulang dari toko mainan, Sadewa menaiki mobil pikap yang sama, ia memilih turun di gerbang smelter batu bara lalu melanjutkan perjalanan pulangnya dengan jalan kaki menghindari pematang sawah milik Putu.
Sadewa berjalan melewati sawah-sawah asing meski itu artinya Sadewa berjalan memutar lebih jauh dan akan memakan waktu lebih lama untuk sampai tiba di rumahnya. Tujuannya jelas, Sadewa tidak ingin Putu melihatnya pulang sambil menenteng mainan tamiya, padahal ada banyak kemungkinan Putu berpapasan dengan Sadewa di jalan meski Sadewa pilih jalan yang lain.
Kalau toh Sadewa sampai berhasil lolos dari pantauan Putu, Sadewa tetap memiliki kemungkinan terburuk lainnya, misal teman Sadewa melaporkan perbuatan Sadewa itu ke Putu. Para pekerja tambang batu bara yang sudah kenal dengan Putu juga bisa saja mengadu kepergian Sadewa menebeng mobil pikap operasional ke kota kecamatan seorang diri, lantas Putu akan mencari tahu lebih lanjut sampai Putu mengetahui apa yang telah Sadewa lakukan di kota kecamatan. Selama perjalanan pulang dengan membawa kotak berisi mobil tamiya itu, Sadewa girang bukan main. Tamiya itu telah membuatnya melupakan sejenak rasa waswasnya bakal ketahuan Putu.
Sadewa memilih menari-nari sepanjang jalan setapak sawah menuju rumahnya. Sadewa tidak sabar membuka kemasan kotak dan menjajal mainan itu di dalam kamarnya. Sadewa sedikit cemas, bukan perihal ayahnya melainkan kondisi tamiyanya itu, bagaimana jika tamiya yang dibelinya tiba-tiba tidak menyala meski di toko tadi ia sempat mencobanya dan mobil tamiyanya bisa bergerak normal. Sadewa buang-buang jauh kecemasan itu, toh kata si pemilik toko, barang yang dibeli masih bisa ditukar kembali selama tidak melebihi batas waktu tujuh hari penukaran sejak pembelian pertama. Kecemasan Sadewa akan tamiya memang perlahan memudar, namun kecemasan yang lebih besar malah datang. Sesampainya di rumah, neraka baru saja menghampiri Sadewa. Sadewa bukan disambut rumah yang kosong sesuai perkiraannya, Sadewa justru disambut Putu yang tidak ingin ditemuinya.
Putu tidak berangkat ke sawah di hari bahagia itu. Dalam rencana matangnya, Sadewa akan membeli tamiya di hari Minggu pagi ketika Putu sedang berada di sawah. Dalam pikiran Sadewa, ia akan merasa aman membedah kotak mainan idamannya di rumah sementara Putu pasti sedang berada di sawah. Rencana tinggal rencana, Sadewa harus siap menghadapi kemungkinan terburuk yang sudah menantinya di depan mata, sesuatu yang tidak bisa Sadewa bayangkan akan terjadi begitu cepat.
Pagi menjelang siang itu entah kenapa Putu duduk di ruang tamu. Putu tidak berangkat ke sawah dan ia seperti sengaja menunggu kedatangan Sadewa. Sadewa memperhatikan tatapan mata buas Putu. Putu seperti singa yang siap menyantap mangsanya meski mangsanya adalah anaknya sendiri.
Sidang panas kembali digelar. Sadewa tidak bisa menyembunyikan tamiya yang masih terbungkus rapi di dalam kotak itu begitu tiba di rumah. Tamiya itu seolah berbicara dan mengadu kepada ayah si empunya.
“Sadewa berhenti di depan! Iba tahu apa kesalahan iba?” Sadewa diam mematung. Kepalanya refleks menggeleng. Bulir-bulir keringat jatuh dari pucuk kulit rambutnya. Bulir-bulir itu membanjiri dan menenggelamkan tubuh Sadewa sepenuhnya sampai ia kesulitan bernapas. Begitulah gambaran sidang—entah sidang dari Putu keberapa yang harus Sadewa hadapi. Suasana itu sungguh mencekam di mata Sadewa. Putu bahkan tidak bertanya benda apa yang dibawanya melainkan kesalahan apa yang telah diperbuat olehnya. Putu tahu lebih banyak daripada apa yang dipikirkan Sadewa.
“Bapak menyimpan uang di kotak sepatu di lemari kamar, dan Bapak kehilangan uang empat ratus ribu rupiah. Dan benda apa yang iba bawa itu?” Sadewa tahu arah pembicaraan Putu. Putu sepertinya sudah tahu dosa apa yang barusan Sadewa lakukan. Sadewa memilih berbohong ketimbang ketiban masalah yang jauh lebih besar, begitu dugaannya. Padahal tidak ada perbandingan di antara keduanya, dua-duanya sama-sama berisiko, mau Sadewa jujur atau bohong, tetap saja Sadewa telah berbuat salah dan hukuman pasti akan menghampirinya. “Aku beli tamiya ini dari hasil jerih payahku mengumpulkan uang jajan selama sebulan.” Otak Sadewa bertindak lebih cepat ketimbang akal sehatnya. Sadewa memilih berkata bohong—entah kenapa semua keluar begitu saja dari mulutnya.
“Berapa harganya?” Sadewa tidak bisa bohong soal harga karena label harga mobil tamiyanya masih menempel di kotak.
“Harganya empat ratus lima puluh ribu rupiah. Biang menambal kekurangannya dengan memberiku uang seratus lima puluh ribu rupiah. Bapak jangan nuduh aku sembarangan! Bapak lupa naruh uang itu mungkin!” Putu sontak memanggil Pratiwi. Ia ingin mengonfirmasi kebenaran yang disampaikan Sadewa.