Sepulangnya dari pawai ogoh-ogoh, Pratiwi tidak melihat batang hidung Sadewa di rumah padahal ia sudah membelikan martabak manis untuk anak dan cucunya. Pratiwi sudah mencarinya ke setiap sudut rumah, namun nihil. Jika Sadewa sudah balik ke Jakarta, Pratiwi tidak bisa menceritakan secara langsung kepadanya bagaimana kemeriahan pawai ogoh-ogoh itu telah menyedot perhatian banyak orang dari berbagai latar belakang. Pratiwi tidak bisa menceritakan secara langsung bagaimana suasana pawai di malam gelap gulita sebab mati lampu, sampai para warga hanya mengandalkan obor sebagai sumber penerangan—tapi justru itulah letak keseruannya.
Api dari obor itu dilempar ke patung. Seluruh patung terbakar membentuk api unggun raksasa di tengah-tengah desa, patung yang terbakar itu merupakan pengganti lampu yang cukup terang di malam itu. Pratiwi hanya bisa menceritakan semuanya kepada Bumi. Bumi pasti menunggu cerita darinya, begitu pula dengan Pratiwi yang menunggu cerita Bumi bagaimana pamannya pergi sebelum dirinya kembali ke rumah padahal Sadewa sudah janji akan menetap lebih lama. Pratiwi akan segera tahu dari penjelasan Bumi.
Meski malam ini sedang mati lampu, penerangan di rumah Pratiwi masih cukup terang dengan beberapa lilin yang dinyalakan. Pratiwi kagum pada Bumi, ia yang menyalakan lilin dan menempatkannya di titik-titik penting di dalam rumah. Pratiwi kira Sadewa yang melakukannya ternyata Sadewa sudah pergi sebelum mati lampu melanda. Itu artinya Sadewa pergi selepas magrib.
Bumi yang waktu itu sudah agak baikan meneruskan pesan dari pamannya, “Iwa Sadewa mendadak pulang. Dia mengejar pesawat paling akhir di Samarinda.” Pratiwi tentu kecewa, Sadewa sudah berjanji akan melangsungkan ibadah nyepi di rumah setelah Pratiwi menandatangani surat pelepasan lahan itu. Namun lagi-lagi Pratiwi memakluminya, Sadewa mungkin dikejar urusan penting di Jakarta sehingga ia harus pulang secepat itu.
“Nini tahu tidak, tadi Iwa Sadewa terlihat konyol. Masa, Iwa Sadewa takut sama ular sampai sebegitunya.”
“Jangan sebut pamanmu konyol! Memang bagaimana ceritanya?” Pratiwi sedikit kesal kepada Bumi yang menyebut pamannya konyol. Pratiwi memilih mengalihkan kekesalannya dengan memijat pergelangan tangan Bumi. Pratiwi melakukannya sambil mendengarkan penuturan Bumi. Telinganya terbuka lebar-lebar untuk menyimak Bumi bercerita.
“Tadi sore menjelang petang, ada ular di bawah meja, Iwa Sadewa duduk di kursi di depannya. Iwa Sadewa mendadak menjerit, suara jeritannya kayak Lina pas melihat patung ogoh-ogoh menyeramkan.” Lina adalah teman sepermainan Bumi. Bumi berhenti sejenak, Pratiwi memberinya air minum. Bumi terlalu bersemangat bercerita sampai tenggorokannya kering bahkan Bumi tidak memberi kesempatan Pratiwi bercerita bagaimana meriahnya pawai ogoh-ogoh tadi—sepertinya Bumi merasa bahwa kisahnya tentang Sadewa jauh lebih penting, seolah-olah Pratiwi harus mengetahui secepatnya sebelum Bumi lupa.
“Lalu Iwa Sadewa sudah berpindah badan ke ranjang berdesakan denganku. Iwa Sadewa tidak berani kembali duduk di kursi padahal ranjang ini terlalu sempit untuk dua orang,” lanjut Bumi dengan wajah penuh antusias seperti sebelumnya.
“Lalu siapa yang mengusir ular itu?”
“Ya jelas Bumi, dong!” Pratiwi sadar, akhir-akhir ini banyak hewan liar memasuki rumahnya, imbas dari alam-alam hijau yang disulap menjadi tambang batu bara terbuka. Barangkali Bumi sudah beradaptasi dengan kemunculan hewan-hewan liar itu sehingga ia tidak takut lagi meski usianya terbilang sangat belia untuk berhadapan dengan hewan-hewan liar.
Kemunculan hewan liar di rumah memang bukan kali ini saja terjadi, jika hari ini Bumi bertemu ular, kemarin Bumi menemukan biawak, kemarinnya lagi anjing liar, dan entah sudah ada berapa banyak babi liar yang juga Bumi usir dengan keberaniannya. Hewan-hewan liar itu semakin banyak berkeliaran terutama jika musim hujan datang. Mereka kehilangan tempat tinggalnya sehingga mereka mencari kehangatan tempat tinggal baru di rumah-rumah warga. Ular yang menyambangi rumahnya itu memang tidak begitu mengganggu, ular itu mungkin hanya menumpang berteduh—namun tak sedikit pula hewan liar macam ular piton yang memakan hewan ternak warga, anjing liar yang kencing sembarangan, dan tikus-tikus membuat sarang yang semuanya bikin warga Bukit Surgawi kerepotan. Beruntung belum ada korban jiwa atas kehadiran hewan-hewan liar di rumah warga.
Pratiwi kadang berpikir, bagaimana jika seluruh alam liar di Bukit Surgawi habis tak tersisa sebab dikeruk perusahaan tambang batu bara terbuka, mungkinkah hewan-hewan liar itu kelak mencelakai umat manusia sebagai upaya balas dendam mereka? Pratiwi segera membuang jauh-jauh pemikiran konyol macam itu. Pertanyaannya itu bisa saja didengar Tuhan lantas bukan orang lain yang jadi korban pelampiasan dendam hewan liar itu melainkan Pratiwi sendiri karena secara tidak langsung Pratiwi telah menyukseskan tambang batu bara itu. Bukankah Pratiwi baru saja menjual sawahnya untuk perusahaan tambang batu bara? Secara tidak langsung, Pratiwi bersekutu dengan mereka.
“Apa Bumi bilang Iwa Sadewa konyol atau semacamnya setelah Iwa Sadewa berpindah ke ranjang Bumi?” tanya Pratiwi mencoba mengalihkan pikiran negatifnya.
“Hem… aku tidak bilang begitu sih, aku hanya bilang, kata Nini dulu Bapak pemberani dan pekerja keras. Bapak pintar membuat jebakan hewan-hewan liar sedangkan Iwa Sadewa kok tidak seperti Bapak… Iwa Sadewa malah takut sama ular sawah kecil. Apa jangan-jangan Nini bohong?” Pratiwi diam bungkam, ia berpikir, mencari-cari kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan cucunya.