Abu jenazah Bumi sudah dilarung ke Sungai Mahakam, abunya telah pergi jauh menembus samudra biru namun bayang-bayang Bumi belum sepenuhnya hilang dari benak Pratiwi. Air mata Pratiwi sampai kering kerontang, kesedihannya belum habis-habis dimakan waktu. Pratiwi tidak percaya bahwa waktu akan menyembuhkan karena nyatanya ia tidak pernah sembuh dari luka perih akibat kehilangan cucu satu-satunya.
Pratiwi menjalani hidup tapi jiwanya tidak menetap bersamanya. Tatapannya selalu kosong, beberapa rekan seperjuangan sering datang menghibur, sosok yang dihibur masih menutup mata dan telinga. Warungnya tidak pernah buka lagi. Tetangga yang peduli selalu mengiriminya makanan. Kesehatan Pratiwi menurun. Pratiwi bukan lagi Pratiwi Bongsor seperti dulu, kini ia lebih mirip mumi tongkat yang hidup.
Kesedihan Pratiwi bertambah berkali-kali lipat setelah Sadewa tidak pulang mengikuti proses kremasi keponakannya itu. Apa keponakannya itu dianggapnya tidak sepenting pekerjaannya di Jakarta? Selama ini ternyata Sadewa ikut berperan dalam penggalian tambang batu bara di desanya dan beberapa desa lainnya di Kalimantan Timur. Perusahaan tempat Sadewa bekerja adalah perusahaan besar dengan banyak anak perusahaan di mana-mana.
Pratiwi merasa tertipu, selama ini ternyata Sadewa juga bekerja di PT Katadidin Energi. Perusahaan yang sangat aktif mengeruk Bukit Surgawi lalu begitu harta karun habis, mereka tinggalkan begitu saja. Sadewa berafiliasi dengan banyak perusahaan, karena tugasnya adalah membebaskan lahan, dan PT Katadidin Energi adalah ladang cuan terbanyak bagi Sadewa dari sekian banyak anak dari perusahaan tempat Sadewa bekerja di Jakarta.
Pratiwi tahu itu dari kabar yang beredar di masyarakat. Pratiwi hanya satu dari sekian banyak petani di daerahnya yang harus melepaskan sawah mereka untuk memperkaya perusahaan-perusahaan itu.
Sadewa menambah luka di batin Pratiwi dengan menyuruhnya tutup mulut soal kasus yang menimpa Bumi. Sadewa tidak menanyakan perasaan Pratiwi yang hancur lebur, Sadewa justru menawari Pratiwi santunan senilai satu miliar rupiah. Perusahaan Sadewa memiliki penghasilan yang sangat besar. Santunan itu khusus diberikan kepada Pratiwi karena Pratiwi adalah ibu kandung Sadewa dan korban yang tenggelam adalah keponakan Sadewa. Jumlah itu jauh lebih besar dari santunan serupa lainnya yang diberikan kepada korban tenggelam di kubangan bekas tambang batu bara terbuka. Pratiwi tidak perlu menanyakan alasannya kepada Sadewa.
Namun, apakah uang satu miliar bisa menghidupkan Bumi yang sosoknya sudah menyatu dengan air keabadian? Pratiwi menolak dengan tegas tawaran itu. Sadewa bilang kepadanya bahwa posisinya saat ini terancam, ia akan kehilangan proyek besarnya di Bukit Surgawi jika Pratiwi sampai buka mulut dan menjelek-jelekkan perusahaan tambang batu bara di Bukit Surgawi. Berkali-kali Sadewa menyebut bahwa apa yang dialami Bumi adalah takdir Tuhan, ada atau tidak adanya kubangan itu, hari itu adalah hari apesnya Bumi. Semakin nama Bumi disebut, ingatan Pratiwi kembali, kembali bertahun-tahun silam ketika Bumi pertama kali datang ke bumi Bukit Surgawi dengan tangisan merdunya. Jika nama Bumi disebut, maka kisah cinta Nakula menyertai di dalamnya.
***
Kisah cinta Nakula berjalan begitu cepat. Ia yang tak betah tinggal bekerja di Jakarta akhirnya memutuskan untuk pulang kampung. Nakula merasa dirinya tidak cocok dengan budaya kota metropolitan yang serba cepat dan menumbuhkan nirempati terhadap sesamanya. Nakula sering melihat orang berebutan masuk kereta, berjalan cepat-cepat, atau copet yang lihai. Ketiganya menyatu menjadi rutinitas tak berkesudahan. Sesama tetangga tidak saling kenal, bahkan ada tetangga yang mati membusuk saking lamanya tidak ada yang menengok ketika sedang sakit. Di kampung halamannya, tidak ada orang semacam itu. Setiap tetangga adalah keluarga. Mereka saling kenal satu sama lain dan saling menyapa setiap hari. Saling membantu jika ada tetangga yang sakit, saling bergotong royong jika ada hajatan, dan saling berbagi makanan jika ada rezeki lebih adalah keseharian Nakula di desa. Tenggang rasa di kampung halamannya cukup tinggi, berbanding terbalik dengan apa yang Nakula saksikan di ibu kota. Bagaimana mungkin setiap orang berkompetisi setiap harinya tanpa kenal lelah?
Nakula memilih bekerja di sawah membantu Pratiwi sepulangnya dari Jakarta. Pratiwi sempat menolak, berkali-kali ia menyuruh Nakula untuk menimbang ulang keputusannya. Pratiwi bilang kepadanya bahwa hasil dari sawah tidak semenjanjikan pekerjaannya di Jakarta. Apalagi sejak kematian Putu, tambang batu bara terbuka semakin merajalela memberinya hadiah berupa kerusakan lingkungan bagi petani-petani kecil seperti Pratiwi. Namun keputusan Nakula sudah bulat, sebulat tahu dadakan yang digoreng dadakan.
Nakula tidak pulang seorang diri. Ia membawa seorang gadis asal Sukabumi. Mulanya Pratiwi tidak terlalu banyak bertanya soal asal-usul gadis yang kemudian ia panggil Salsabila. Salsabila terlihat seperti wanita baik-baik saja. Ia tidak banyak membantah dan seringkali membantu Nakula di sawah. Salsabila ikut tinggal di rumah Pratiwi, tidur di kamar Sadewa yang kosong ditinggalkan penghuninya.
Pratiwi tidak menyadari bahwa Salsabila telah mengandung bayi hasil hubungannya dengan Nakula. Perutnya tidak membuncit seperti perut ibu-ibu hamil pada umumnya. Seluruh warga Bukit Surgawi tidak ada yang menyadari termasuk Pratiwi. Baru ketika usia kehamilannya menginjak 24 minggu, Nakula menyampaikan fakta pahit itu. Pratiwi tentu kaget. Ia tidak menyangka anaknya telah berbuat sejauh itu. Pratiwi pun akhirnya menanyakan asal-usul Salsabila. Semakin banyak latar belakang diketahuinya, semakin Pratiwi tidak menyukai Salsabila.