Di depan kantor kepala desa Bukit Surgawi, berkumpul pemuda-pemuda berpakaian seperti preman—rambut disemir, tato di mana-mana, telinga ditindik, dan tercium bau alkohol yang menyerbak. Mereka menyebar di berbagai titik. Entah siapa mereka sebenarnya dan apa tujuan mereka berada di depan kantor kepala desa. Hal ini di luar kebiasaan.
Belum juga sampai di depan ruangan kepala desa, pemuda-pemuda itu menghampiri Pratiwi dan teman-teman seperjuangannya. Pemuda itu menanyakan urusan Pratiwi datang menemui kepala desa. Pratiwi tidak mungkin berkata jujur, ia akan langsung diusir.
“Aku hanya ingin minta surat pengantar.” Pemuda-pemuda itu tampak curiga. Jika Pratiwi ingin minta surat pengantar kenapa pula sampai membawa pasukan. Mereka pun mengizinkan Pratiwi masuk namun tidak kepada tim Green Calm, Alibi, dan Sekar.
***
Sekar sudah curiga duluan. Kepala desa tidak mau diusik terkait kasus tewasnya bocah cilik di kubangan bekas tambang batu bara terbuka yang tidak ditimbun ulang di desa kekuasaannya. Dalam pikiran Sekar, Herman sudah menyusun skenario untuk menghindar dari kedatangan tamu-tamu tak diinginkan. Apalagi Herman hendak mencalonkan ulang dirinya di pemilihan kepala desa periode berikutnya. Ia tidak puas hanya menjabat selama satu periode. Herman tidak ingin nama dan wibawanya hancur begitu saja lantas memengaruhi elektabilitasnya di pemilihan nanti. Herman jelas mencari lebih banyak dukungan dan tidak ingin dukungan itu berpindah ke calon yang lain.
Sekar pernah mendengar bahwa sejak hilangnya Bumi di kubangan, Herman jarang terlihat batang hidungnya. Ia enggan menemui wartawan dan ia hanya berkutik di mejanya. Sekar curiga bahwa Herman terlibat kongkalikong dengan perusahaan tambang batu bara terbuka. Namun Sekar tidak memiliki bukti yang kuat, dan belum tentu jika Herman terbukti bersalah ia akan bebas begitu saja.
***
Tujuan Pratiwi datang ke kantor kepala desa untuk menemui Herman adalah ia ingin menanyakan transparansi dan keterbukaan informasi, mengapa kubangan seluas itu dibiarkan menganga begitu saja, lokasinya pun berdekatan dengan sekolah. Selain itu, kubangan itu tidak dipagari, hanya dibiarkan begitu saja. Tanda-tanda bahaya atau semacamnya tidak terlihat, anehnya beberapa hari setelah Bumi meninggal dunia, tanda bahaya itu baru dipasang. Seolah-olah aparat desa ingin menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah atas kematian Bumi. Entahlah, Pratiwi tidak ingin berpikir sejauh itu, namun fakta-fakta yang ada di depan sulit untuk dielaknya.
Setibanya Pratiwi di kantor kepala desa, Herman kaget. Ia tidak menyangka yang datang bukan warga biasa, Herman justru kedatangan orang berbahaya di matanya. Barangkali preman-preman itu tidak mengenali Pratiwi sebagai nenek dari bocah cilik yang meninggal dunia di kubangan.
Pratiwi bisa melihat kekagetan tampak di wajah Herman. Herman tidak memiliki pilihan lain selain mempersilakan Pratiwi duduk di depan mejanya dan mengutarakan apa keinginannya datang ke kantornya dengan dua AC di dalamnya. Meski Herman sudah tahu apa yang hendak Pratiwi bicarakan, ia tetap membiarkan Pratiwi menyampaikan unek-uneknya, tidak langsung mengusirnya.
“Bapak, aku meminta pertanggung jawaban Bapak. Sebagai orang yang punya kuasa di desa ini, kenapa Bapak membiarkan kubangan itu menganga begitu saja? Ini bukan yang pertama, kenapa hanya empat kubangan yang ditimbun ulang, bagaimana dengan sisanya?” Tebakan Herman tidak memelesat, Pratiwi bakal menanyakan pertanyaan tentang kubangan bekas tambang batu bara terbuka itu.
“Aku tidak tahu, kau bisa menanyakan hal ini ke perusahaan. Ini hak dan wewenang dia dan bukan ranahku untuk menjawabnya.” Pratiwi tentu lebih memilih menanyakan perihal ini ke perusahaan namun kantor pusat perusahaan berada di Jakarta. Para atasan dan karyawan dengan posisi strategis memantau dari kejauhan. Sementara area penambangan hanya dihuni oleh petugas tambang, sopir, dan karyawan biasa. Mereka tidak punya kuasa atas kebijakan-kebijakan perusahaan dan Pratiwi pikir pihak desalah yang seharusnya protes atas perlakuan perusahaan yang tidak pro rakyat biasa.
“Tapi kan ini wilayah hak dan wewenang, Bapak! Kenapa Bapak malah tutup mata dan telinga.”
“Terserah, apa maumu. Yang jelas, aku turut berduka cita atas meninggalnya Bumi. Dan tewasnya dia di kubangan jelas tidak ada kaitannya dengan kebijakan desa. Kalau mau protes, silakan datang ke perusahaan tambang batu bara. Silakan bertanya ke anak anda sendiri. Ia tahu lebih banyak soal itu. Tapi jangan bawa-bawa nama desa dan Herman anak Pak Kusuma ini.” Pratiwi sudah melakukan apa yang Herman sarankan. Nyatanya sang anak tutup telinga. Ia tidak bisa dihubungi begitu Pratiwi menolak uang santunan untuk Bumi.
“Apa yang dialami Bumi sudah menjadi takdirnya meninggal seperti itu,” lanjut Herman. Pratiwi murka mendengar jawaban Herman. Herman lupa ia adalah orang yang pernah ditolong Nakula sewaktu ia kecil. Nakula membawa Herman—yang terluka parah akibat dipukul Sadewa—ke klinik terdekat waktu itu. Herman tidak mendapat luka serius karena Nakula langsung melarikannya ke klinik terdekat, dan Bumi adalah anak Nakula. Seharusnya Herman peduli bukan sebatas mengucapkan belasungkawa, apalagi kata-katanya kurang pantas keluar dari mulut seorang pemimpin.
Pratiwi menggebrak meja Herman. Preman-preman di luar mendengarnya. Pratiwi sudah bisa menebak, ia bakalan diusir dari kantornya.
“Beginikah perlakuan desa? Desa yang seharusnya mengayomi, malah menakut-nakuti.” Preman-preman itu tersindir oleh perkataan Pratiwi. Pratiwi sudah tidak didengar lagi. Ia dipaksa meninggalkan kantor Herman yang dingin dan serba nyaman dengan fasilitas fantastis di dalamnya sementara di luar sana warga menjerit kepanasan dan mengalami kesulitan sejak tambang batu bara terbuka semakin merajalela.
***
Perjuangan Pratiwi di tingkat desa gagal. Green Calm tidak bisa membantu lebih banyak. Mereka fokus pada proyek dokumenternya. Mereka harus segera berlayar ke Karimunjawa Jepara, masyarakat sana sudah mengundangnya untuk segera datang. Green Calm sudah membuat janji dengan para nelayan untuk meliput secara langsung kapal-kapal tongkang pembawa batu bara dari Kalimantan yang melewati kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Rencananya mereka akan menghadang kapal-kapal itu, memberinya peringatan dan membubuhinya tulisan Coral Not Coal dengan cat ramah lingkungan. Green Calm segera meninggalkan Pulau Borneo, namun bukan berarti mereka lepas tangan begitu saja. Josh memberi kontak nomornya, ia siap dihubungi jika Pratiwi dan Alibi membutuhkan bantuannya. Green Calm tidak bisa berbuat lebih banyak saat-saat ini, mendampingi Pratiwi atau Alibi dalam setiap advokasi.