Titi menyediakan rumahnya di Samarinda sebagai titik kumpul pertama dalam aksi damai melawan tambang batu bara. Rumahnya lebih dekat ke pusat pemerintahan ketimbang kantor sekretariat Alibi Kaltim.
Titi pernah menyampaikan latar belakang kisahnya kenapa ia ikut bergabung menjadi salah satu anggota Alibi. Menurut ceritanya, ia pernah kehilangan rumah tercinta karena tanah di bawahnya ambles. Rumah penuh kenangan tak tergantikan itu berada tak jauh dari lokasi penambangan batu bara terbuka. Mulanya dinding-dinding di rumahnya retak, lalu berpindah ke pintu dan jendela yang tidak bisa ditutup secara penuh. Keramik dan lantai terbelah perlahan-lahan. Tidak ada tukang yang bisa memperbaikinya, kecuali keluarga Titi mau merenovasi total rumahnya atau segera pindah mencari rumah baru. Kondisi semakin mengkhawatirkan dengan hilir masuknya debu berserakan dari partikel-partikel kecil batu bara. Lama-kelamaan kondisi tersebut semakin menyulitkan.
Tak hanya rumah masa kecil Titi saja, para tetangga juga mengalami nasib serupa. Satu persatu tetangganya memilih meninggalkan rumah mereka dan berpindah ke kota. Mereka takut jika sewaktu-waktu rumah mereka roboh dan ikut membahayakan jiwa mereka. Titi memilih bertahan karena di sanalah kenangannya bersama keluarga bermula. Kondisi tersebut berlangsung sampai nenek Titi meninggal dunia. Titi menduga kematian neneknya berkaitan erat dengan debu-debu yang masuk ke rumahnya. Kata dokter, nenek meninggal dikarenakan asma akut. Padahal kata orangtua Titi, nenek baru mengalami sesak semenjak ada penambangan batu bara terbuka. Dokter tidak punya bukti jika kematian neneknya berkaitan langsung dengan penambangan batu bara, hanya saja kondisi neneknya semakin menurun seiring dengan banyaknya debu-debu partikel hitam dari penambangan batu bara.
Titi tidak memiliki semangat lagi setelah kematian neneknya. Ia kehilangan teman bermain, tempat bermain, dan nenek tercintanya. Akhirnya keluarga Titi memilih berpindah juga, mengikuti para tetangga yang sudah mengawalinya. Titi bersikeras ingin menetap di rumahnya itu. Ia kadung nyaman di sana. Titi adalah seorang perempuan yang lebih dekat dengan nenek ketimbang orangtuanya. Titi tidak bisa meninggalkan tempat sisa akhir kehidupan sang nenek. Terlalu berat baginya meninggalkan kamar nenek dengan segala aroma kenangan di dalamnya. Orangtua Titi membujuk dengan berbagai rayuan namun Titi tetap pada pendiriannya. Kondisi rumah sudah semakin mengkhawatirkan dan orangtua Titi tidak bisa berbuat banyak.
Titi baru mau ikut pindah ketika atap rumahnya ambruk seketika. Ia mengalami luka dengan lima jahitan di tangan dan kaki. Lukanya bahkan masih membekas, menjadi saksi bisu atas kelakuan penambangan batu bara terbuka. Demi alasan kesehatan dan keselamatan, akhirnya Titi berminat pindah ke rumah barunya di Samarinda, meninggalkan bayang-bayang nenek di rumah yang ia tinggali dari bayi sampai remaja.
Perusahaan penambangan batu bara tidak menyediakan uang ganti rugi. Mereka berdalih bahwa kerusakan rumah bukan dikarenakan oleh kehadiran penambangan batu bara melainkan karena usia rumah yang sudah terlalu tua. Jika usia rumah dijadikan alasan perusahaan, kenapa rumah-rumah tetangga lainnya juga sama-sama sial nasibnya. Padahal aturan di atas kertas terbaca sangat jelas bahwa penambangan batu bara tidak boleh berada terlalu dekat dengan permukiman warga. Sekeras apapun keluarga Titi protes, perusahaan tetap tidak mau ikut ganti rugi. Orangtua Titi terpaksa berutang ke bank untuk mengangsur rumah barunya di kota provinsi.
Kisah Titi tersebut membulatkan tekad Titi untuk menjadi aktivis lingkungan. Ia sudah ikut gerakan pecinta alam sejak SMA, dan ia terus mengelutinya sampai ia akhirnya bergabung bersama Alibi. Ternyata banyak anggota Alibi yang senasib dengannya bahkan ada yang lebih menyedihkan dari Titi. Titi memang kehilangan rumah dan neneknya, tapi ia tidak kehilangan semangatnya untuk melawan penambangan batu bara yang terlalu berlebihan.
Di rumahnya kini di Samarinda, Titi merasa bangga, ia bisa ikut membantu Alibi mempersiapkan aksi damai. Titi bersyukur ia bisa berjuang bersama-sama. Ia bergerak bersama orang-orang hebat yang peduli terhadap masa depan alam Borneo. Jika kerusakan itu dibiarkan begitu saja, maka kerusakan-kerusakan lainnya akan ikut menyusulnya.
***
Beberapa anggota Alibi dari Bukit Surgawi berangkat bersama-sama menaiki mini bus menuju ke rumah Titi kecuali Sekar dan Ketut yang katanya berangkat belakangan. Mereka ditugaskan mencari boneka yang belum sempat dibeli oleh Titi sementara kebutuhan lainnya sudah Titi siapkan seperti alat rias, bahan rias, arang hitam, kayu nisan lengkap dengan ukiran nama dan tanggal wafatnya para korban tenggelam di kolam bekas tambang, kain putih, toa, spanduk menuntut Pak Gubernur meminta maaf dan tuntutan demo lainnya, selebaran informasi yang akan dibagikan ke warga sekitar, dan bunga mawar.
Di rumah Titi, mereka merias diri mereka. Rumah Titi menjelma menjadi rumah orang yang sedang ada hajatan besar di dalamnya. Rumahnya mendadak ramai, Titi justru senang melihatnya. Sementara orangtua Titi yang sudah pensiun dari pekerjaannya hanya bisa membantu menyiapkan makanan untuk tamu-tamu yang datang.
Titi kedapatan peran sebagai tuan rumah sekaligus sebagai seksi dokumentasi. Titilah yang merekam seluruh aktivitasnya hari ini, hasil rekaman akan ia kirimkan ke Green Calm untuk disatukan dalam film dokumenter yang akan mereka buat. Titi bangga dengan perannya itu apalagi ia adalah penyuka fotografi sejak aktif di organisasi pecinta alam sewaktu SMA.
Satu persatu anggota Alibi merias dirinya sesuai instruksi. Mereka memolesi wajah mereka dengan riasan serba putih. Tak hanya wajah, di sekujur kulit yang tidak tertutup kain baju atau bawahan, mereka juga memolesinya dengan riasan serba putih. Tak lupa mereka melengkapinya dengan baju dan bawahan warna putih. Sekeliling mata mereka dihiasi celak hitam. Mereka semua terlihat seperti hantu yang gentayangan.
Pratiwi berada di barisan terdepan, memimpin anggota Alibi berjalan sepanjang jalan menuju kantor gubernur. Rumah Titi tidak begitu jauh dari sana, namun panas yang menyengat kadang meruntuhkan semangat demonstran yang hadir. Apalagi Ketut dan Sekar yang cukup vokal belum datang-datang juga. Sebenarnya Sekarlah yang ditugaskan sebagai orator dan pemimpin jalannya aksi damai, namun karena Sekar belum terlihat batang hidungnya, Pratiwi dengan suka hati menggantikan posisi Sekar. Pratiwi mengira Sekar dan Ketut akan datang terlambat, namun nomor ponselnya tidak dapat dihubungi.