Sungai yang mengalir di sekitar mata Pratiwi belum sepenuhnya kering, kini sungai itu semakin menderas kencang. Banjir bah barangkali datang dari wajahnya. Sekar, sahabatnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan membawa boneka-boneka yang dibelinya. Boneka-boneka yang rencananya akan digunakan para demonstran itu pergi menemani Sekar menuju keabadian bersama Ketut. Boneka-boneka itu adalah saksi bahwa mereka sudah memiliki niat suci untuk melawan ketidakadilan tambang batu bara terbuka.
Kecelakaan yang dialami Sekar dan Ketut masih menyimpan tanda tanya besar. Ketut adalah seorang pengemudi mobil andal. Ia tipe orang yang sangat hati-hati dalam berkendara. Ia tidak pernah mengebut di jalan. Citra menduga Ketut bukannya sedang apes, Ketut dibunuh dengan sengaja seolah-olah ada kecelakaan dahsyat menimpanya. Kecelakaan itu pun tidak hanya menewaskan si pengemudi tapi juga si penumpang yang juga adalah ibu kandungnya.
Dalam kesempatan lain Citra menuturkan kabar kecelakaan misterius itu, mobil ketut tidak berbentuk lagi. Moncong depannya dilindas truk besar pembawa batu bara dengan ban yang besarnya berkali-kali lipat dari ban mobilnya. Truk besar pembawa batu bara itu hilang ditelan angin. Tidak ada saksi mata yang melihat. Citra tahu si penabrak adalah sopir truk besar pembawa batu bara. Hal itu cukup jelas, ada banyak sisa batu bara di mobil Ketut. Murka Pratiwi semakin membesar mendengar cerita Citra waktu itu. Ia bahkan tidak segan-segan lagi membuka pintu hatinya melakukan aksi demonstrasi ricuh, sebuah pendapat yang diamini sebagian anggota Alibi.
Namun Pratiwi sadar, lawannya bukan sembarang lawan. Ia tidak boleh bertindak gegabah. Bahkan ketika rombongan mini bus hendak pulang dari rumah Titi, mini bus yang ditumpanginya berserta rombongannya dihadang oleh sekelompok preman di gerbang pintu masuk desa Bukit Surgawi. Para demonstran seperti dicurigai membawa narkoba atau telah melakukan tindakan brutal sehingga harus diperiksa dan diamankan segera—atau mungkin saja mereka diduga membawa virus berbahaya sehingga harus segera disingkirkan. Preman-preman itu—ditemani beberapa pria berseragam polisi—mengecek satu persatu penumpang dan Sang Sopir. Mereka dimintai keterangan. Apa salah mereka?
Sopir mini bus yang juga peserta demo ditahan karena tidak membawa SIM, penahanan itu masih terbilang wajar. Lantas bagaimana dengan Hendri dan Made yang juga turut dibawa mobil polisi, mereka tidak terjerat kasus hukum apapun. Alasan mereka digiring bareng Sang Sopir sangat tidak masuk akal, Hendri dan Made diduga menghalangi jalannya operasional perusahaan tambang batu bara di Bukit Surgawi. Sebuah alasan yang terkesan dibuat-buat. Peserta demo lainnya yang selamat dari penangkapan merasa was-was, apakah mereka akan menyusul Hendri dan Made? Apakah mereka akan senasib dengannya?
Para demonstran juga yakin kecelakaan yang dialami Ketut dan Sekar telah direncanakan sebelumnya, barangkali polisi atau orang perusahaan tahu bahwa Sekar adalah sang orator sementara Ketut akan mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa periode berikutnya. Spekulasi muncul, bagaimana jika kecelakaan Sekar dan Ketut adalah kecelakaan yang direncanakan dan berkaitan erat dengan perusahaan tambang batu bara. Demonstran merinding, mereka seperti masuk dalam adegan-adegan mendebarkan dan berbahaya di film-film aksi luar negeri. Akhirnya mereka memilih bungkam ketika Hendri, Made, dan Sang Sopir dibawa menjauh dari hadapan mereka, menjauh dari Bukit Surgawi.
Pratiwi harus mengurungkan niat untuk mengadakan aksi demo yang lebih besar. Satu per satu anggota Alibi Bukit Surgawi memilih mengundurkan diri setelah peristiwa yang mereka saksikan di depan mata. Mereka takut akan bernasib sial seperti Ketut, Sekar, Hendri, dan Made. Begitu preman dan Pak Polisi pergi membawa para kriminal di matanya, demonstran segera bergegas menuju ke rumahnya masing-masing, mereka mengangkat bendera putih.
Tidak ada lagi yang berani bersuara, berbeda seratus delapan puluh derajat saat mereka bersorak-sorai menentang penambangan batu bara terbuka di depan kantor gubernur Kaltim. Para aktivis Alibi benar-benar melupakan seluruh perjuangan yang sudah mereka lakukan seharian. Mereka benar-benar tidak ingin lagi terlibat, atau menjalin hubungan dengan Alibi dan enggan mengikuti kegiatan apapun terkait dengan aksi melawan tambang batu bara terbuka. Melihat teman-teman seperjuangannya pergi satu persatu, Pratiwi sendirian di dalam mini bus. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya tanpa bantuan Alibi. Jika Pratiwi memaksa, ia hanya akan menjadi satu batang sapu lidi yang menyapu bukit penuh daun-daun kering, sebuah hal mustahil untuk dilakukan seorang diri.