Rumah Pratiwi dijaga super ketat oleh orang-orang berpakaian seperti preman. Mereka berlalu lalang bagai robot mondar-mandir di bandara. Jumlahnya tidak sedikit, Pratiwi menghitung-hitung, ada sekitar sepuluh. Semuanya menyebar di sekitar rumah Pratiwi, ada yang berjaga di halaman depan, samping, sampai belakang. Preman-preman itu berusia sekitar tujuh belasan sampai empat puluhan. Beberapa ada yang dikenali Citra. Mereka ada yang pengangguran dan ada pula remaja putus sekolah. Tidak mungkin preman-preman itu melakukannya dengan sukarela, perusahaan pasti sudah menyediakan fasilitas atau mungkin sudah menyogok preman-preman itu.
Meski begitu, entah kenapa preman itu juga berperilaku baik kepadanya. Preman-preman itu memberinya apa yang dibutuhkan oleh Pratiwi mulai dari bahan-bahan masakan, peralatan mandi, alat-alat toilet, sampai mesin cuci baru. Semuanya diantarkan langsung sampai ke depan pintu rumah Pratiwi. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, Pratiwi bisa hidup tanpa keluar rumah selama sebulanan penuh. Pratiwi tidak usah menanyakan ke preman itu datang dari mana segala benda dan barang yang dibutuhkan olehnya, sudah pasti semuanya berasal dari Sadewa. Sadewa memang membantunya namun Sadewa juga membatasi ruang gerak-geriknya. Seharusnya Pratiwi memanfaatkan benda dan barang tersebut, namun Pratiwi bersikeras tidak akan menggunakannya bahkan menyentuhnya sekalipun. Pratiwi tidak mau lagi menerima uang hasil merusak alam Bukit Surgawi.
Pratiwi tetap pergi keluar untuk berbelanja meski semua kebutuhannya sudah disediakan oleh anaknya, mulanya ia dilarang, lama-kelamaan para preman itu tidak punya kuasa melawan kebebasan Pratiwi. Para preman itu memang membiarkan Pratiwi keluar membeli keperluan sehari-hari, namun para preman itu masih setia mengawasi ke mana perginya Pratiwi. Pratiwi tahu dirinya dibuntuti, ia sadar bahwa meski ia bisa bebas berbelanja, ia tidak bebas untuk mengumpulkan massa. Pratiwi tidak bisa lagi melawan hanya mengandalkan dirinya dan Citra belaka, sementara Alibi Kaltim di Samarinda, Alibi pusat, dan Green Calm akan sulit menemui Pratiwi di situasi semacam ini.
Pratiwi jelas menemui kesulitan. Hatinya sudah tergetar, ia ingin segera melawan, entah dengan cara apa, keraguan menyelimutinya. Pratiwi memang harus jeda untuk sementara waktu tapi sampai kapan, begitulah kira-kira dilema yang dialami Pratiwi. Apakah Pratiwi akan menunggu sampai korban bekas kubangan tambang datang kembali menyusul cucunya, atau Pratiwi harus menunggu sawah dan alam indah Bukit Surgawi habis? Pratiwi merasa ia tidak memiliki banyak waktu. Waktu adalah senjata, jika Pratiwi tidak memanfaatkannya dengan baik, waktu yang akan melukainya, melukai hati orangtua-orangtua yang ditinggalkan anaknya akibat meninggal dunia dengan cara konyol.
Siapa orangtua di dunia ini yang akan membiarkan anaknya meninggal dengan cara seperti itu? Mereka memang masih anak-anak, rasa ingin tahunya sangat tinggi, tapi perusahaan malah membiarkan kubangan itu menjadi sarana bermain anak-anak. Lucunya, seingat Pratiwi perusahaan pernah mengatakan bahwa kubangan itu adalah sumber resapan air bersih, sekaligus tempat wisata untuk memajukan desa.
“Sumber resapan air bersih dari mana? Silakan orang-orang perusahaan itu mengecek rumah warga satu persatu di desa Bukit Surgawi ini, mana rumah yang memiliki air sebersih dulu. Semuanya keruh. Tidak sejernih dulu lagi ketika bukit begitu gagah berdiri di belakang pura. Tempat wisata? Siapa mau berwisata di kubangan keruh, dalam, dan berbahaya? Hanya dedemit saja yang mau bermain di sana,” keluh Pratiwi di saat masa-masa membosankannya mendekam di rumah bersama Citra. Citra sudah cakap dalam merespons. Matanya terlihat tidak sesayu kemarin-kemarin.
***
Kondisi sukma Citra sudah semakin membaik. Citra sudah tidak begitu tenggelam dalam lautan air mata kesedihan. Perlahan-lahan Citra menerima kematian Sekar sebagai bagian dari rencana indah Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Takdir yang kelam tidak harus dimaknai dengan hidup yang gelap. Hari terus berlalu, dan suka atau tidak suka semua akan berlalu begitu saja. Kemarin malam sekarang siang, kemarin hujan sekarang panas menyengat. Orang-orang yang pergi mendahului juga tidak akan membiarkan orang yang ditinggalkannya terus-menerus meratapi kesedihan. Pratiwi belajar banyak dari petuah-petuah itu. Dan sekarang giliran Citra yang harus mengikuti jejaknya. Memang berat dan sulit, tapi semuanya tidak ada yang mustahil bagi Citra untuk bangkit dan menata kembali hidupnya. Citra memang kadang kedapatan menangis, tangisannya akan segera mereda begitu melihat antusiasme Pratiwi atau sekadar mendengarkan Pratiwi berkeluh kesah tentang tambang batu bara terbuka. Jika Pratiwi bisa, maka Citra juga harus bisa.
Citra pernah didatangi mendiang ibunya dalam mimpi. Ibunya seolah-olah menitipkan Citra kepada Pratiwi dan berkata bahwa Citra harus berjuang bersama Pratiwi melawan tambang batu bara. Sekar meminta Citra menyudahi kesedihan akibat kepergiannya. Kepergiannya adalah sebuah takdir sebagaimana takdir menitipkan Citra agar tidak berdiam diri membiarkan perusahaan tambang batu bara terbuka berbuat semena-mena.
Sehari setelah didatangi Sekar, Citra yang sudah agak baikan mengajak Pratiwi untuk melawan. Pratiwi bingung, pertama ia bingung Citra yang kemarin-kemarin masih tersedu-sedu sekarang berbalik mengebu-gebu, kedua Pratiwi bingung bagaimana caranya dia melawan, dia sendiri diawasi preman suruhan anaknya. Pratiwi memang memiliki niat sekeras baja, Pratiwi sudah geregetan ingin melawan balik. Tangan dan pikiran Pratiwi melayang-layang dalam angan, ingin dirinya segera mendatangi perusahaan, ingin rasanya mogok makan misalkan, atau berjalan beratus-ratus kilometer menuju istana negara menyuarakan kekesalannya. Semua yang dipikirkan tidak mudah dijalankan. Walau bagaimanapun Pratiwi tetap harus memperhatikan risiko. Pratiwi lupa, Pratiwi memiliki ponsel dan koneksi internet di dalamnya.
“Kita buat video di media sosial saja! Wak Tiwi menyampaikan langsung apa yang Wak Tiwi alami di Bukit Surgawi. Kita buat seluruh dunia tahu bahwa tambang-tambang itu telah merenggut kebebasan kita. Wak Tiwi tidak usah menjelaskan benda dan barang kiriman dari Sadewa.”
Pratiwi baru sadar, ia punya satu senjata yang selama ini dilupakannya, ponsel pintar. Barangkali karena Pratiwi adalah generasi tua, ia tidak terlalu dekat dengan ponsel pintar dan fitur-fitur ajaib di dalamnya. Pratiwi menggunakan ponsel pintar hanya untuk menerima panggilan dari Sadewa atau sekadar baca berita daring. Pratiwi pun setuju dengan usul Citra.
“Tapi… kenapa aku tidak boleh menjelaskan benda dan barang kiriman Sadewa. Bukankah itu malah bagus, Sadewa itu anakku, dan dia tidak ingin ibunya menderita,” protes Pratiwi. Ia lupa Sadewa saat ini tidak berada di pihaknya.
“Justru Sadewa itu adalah bumerang, ia berbahaya dan informasi tersebut malah akan memperbaiki citra dirinya, bukan Citra aku loh ya, atau Wak Tiwi boleh menyampaikan ke publik bahwa Sadewa memang mengirim barang dan benda tapi semuanya hanya untuk menyogok Wak Tiwi supaya Wak Tiwi diam, supaya Wak Tiwi tidak melawan.”
“Tapi…Sadewa tidak bilang ia menyogok!”
“Mana ada orang yang menyogok mengaku dirinya menyogok, Wak Tiwi. Sama halnya dengan maling, mereka tidak akan mengakui dirinya telah mencuri, mereka akan terus bersilat lidah dan menyembunyikan dirinya. Semua hanya kamuflase belaka, seolah-olah berbuat baik padahal niatnya busuk sebusuk telur yang basi. Wak Pratiwi ikuti saja apa kataku!” Pratiwi mengangguk-angguk, tanda ia menerima usulan dari Citra. Pratiwi sampai lupa meski ia menerima benda dan barang kiriman Sadewa, ia tidak pernah memakainya, dan Pratiwi juga tidak ingat bahwa Sadewa bukanlah orang yang berada dalam timnya. Sadewa adalah lawannya karena ia bagian dari perusahaan, posisinya pun cukup strategis di perusahaan.