Sesuai prediksi Pratiwi, Green Calm tidak bisa menemui Pratiwi secara langsung. Penjagaan Bukit Surgawi semakin diperketat. Kondisi di desa Bukit Surgawi mirip dengan kondisi di negara-negara diktator di mana setiap warganya diawasi, dan diberlakukan jam malam jika sesuatu mengancam eksistensi penguasa. Ada banyak CCTV bernyawa bertebaran, memata-matai setiap gerak-gerik yang dianggapnya mencurigakan. Bukan hanya Pratiwi saja yang merasakannya, hampir seluruh penduduk Bukit Surgawi kena getahnya terutama mereka-mereka yang dulunya bergabung dalam anggota komunitas Alibi.
Green Calm sudah mencoba berbagai siasat agar bisa masuk ke Bukit Surgawi dan berkoordinasi langsung dengan Pratiwi. Green Calm pernah menyamar menjadi orang perusahaan, namun begitu diminta kartu identitas dan surat tugas, Green Calm tidak bisa menjawabnya. Green Calm pernah mengaku sebagai wisatawan, namun lagi-lagi orang perusahaan bisa mengendus identitas aslinya. Green Calm juga pernah mencoba masuk ke Bukit Surgawi melalui jalan-jalan masuk ekstrem, melalui pematang sawah dan jalan kecil di pinggiran kubangan bekas tambang, namun lagi-lagi nasib sial menemuinya.
Secercah harapan Pratiwi memudar setelah senjata utamanya justru dihilangkan—internet. Akses internet di desa Bukit Surgawi diputus secara sengaja. Pratiwi menemui kesulitan terbesarnya dalam menghubungi Green Calm. Padahal rencananya Pratiwi akan masuk dalam frame media Green Calm. Green Calm akan membuat sebuah video eksklusif yang menampilkan Pratiwi di kanal media sosial mereka. Lalu bagaimana Pratiwi mengirim materi video ke Green Calm ketika akses internet terputus, hanya ada akses sinyal 2G yang tersedia. Bisa apa sinyal 2G selain untuk menelepon dan SMS saja? Situasi semacam ini tentu melumpuhkan roda-roda aktivitas masyarakat Bukit Surgawi, bagaimana dengan mereka yang kehidupannya bertumpu pada internet, bagaimana anak-anak mendapat sumber informasi belajar jika internetnya dihilangkan?
Perlakuan perusahaan tambang batu bara di Bukit Surgawi benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Barangkali karena orang nomor satu di Bukit Surgawi adalah kaki tangan perusahaan. Herman dikenal sebagai kepala desa yang gila harta dan jabatan. Ia tidak mungkin bisa menjabat sebagai kepala desa tanpa bantuan ayahnya, Pak Kusuma yang juga terkenal buruk tabiatnya. Pak Kusuma tidak bisa berkutik di hadapan Putu namun begitu Putu sudah tiada, Pak Kusuma bebas melakukan apa saja yang dia mau.
Estafet kepemimpinan yang dilanjutkan anaknya ternyata membuahkan hasil yang serupa, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Baik Pak Kusuma maupun Herman, keduanya sama-sama dengan mudahnya menerima kehadiran tambang batu bara terbuka, mereka sama-sama membuat petani harus melepaskan sawah-sawah milik mereka. Ada banyak cara yang mereka lakukan, namun yang jelas semuanya sangat merugikan pihak petani.
***
Green Calm memutuskan memakai cara kedua, Green Calm akan menghubungi Pratiwi lewat sambungan telepon biasa, lalu suara Pratiwi akan menjadi bahan video yang nantinya akan mereka unggah ke media sosial. Jumlah pengikut Green Calm di media sosial mencapai puluhan juta. Pratiwi berharap, cara kedua ini akan membukakan mata penguasa dan orang-orang perusahaan agar mengubah cara pandangnya. Seluruh dunia akan mendengar bahwa hak-hak di Bukit Surgawi dibatasi. Angin segar menerpa Pratiwi. Di sela-sela angin segar itu, sepoi-sepoi angin abu-abu menerpanya.
Sadewa, anak yang selama ini menjadi biang masalah, mendadak menelepon Pratiwi. Pratiwi bimbang, apakah ia harus menjawab telepon itu atau membiarkannya begitu saja. Pratiwi berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Citra yang menyaksikan tingkah laku aneh Pratiwi segera bertanya, “Wak Pratiwi kenapa? Itu ada telepon masuk!” Dering telepon Pratiwi mengeras, telepon itu seperti berbicara kepada Pratiwi, “aku sudah capai berdering terus, segera angkat diriku!”
Pratiwi tidak salah lihat, orang yang sedang meneleponnya memang Sadewa. Kenapa setelah sekian lama, Sadewa baru menghubunginya? Kenapa Sadewa tidak menghubungi Pratiwi ketika ia kehilangan Sekar, sahabat sekaligus ibunda Citra?
“Apakah Sadewa menelepon agar aku diam?” tanya Pratiwi kepada Citra.
“Oh… Sadewa toh yang menelepon. Mending tidak usah diangkat saja, Wak Tiwi. Aku yakin ia menelepon agar Wak Tiwi menyudahi perlawanannya dengan perusahaan, atau mereka sudah tahu bahwa sebenarnya Wak Tiwi sedang menyusun rencana besar bersama organisasi yang jauh lebih besar dari Alibi, orang perusahaan tidak ingin Wak Tiwi melanjutkan rencana demi rencana. Intinya, tidak usah hiraukan Sadewa, biarkan dia keteteran dengan rencana besar kita selanjutnya. Aku kira saat ini Sadewa menimbang-nimbang, kira-kira apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Apakah dengan memutus jaringan internet, memutus juga laju perlawanan kita. Biarkan dia menebaknya sendiri.”
Pratiwi memilih mengabaikan telepon itu. Benar apa kata Citra. Ia harus segera menahan diri untuk tidak berkomunikasi dengan Sadewa. Biarkan Sadewa bertanya-tanya, biarkan Sadewa mengira-ngira apakah Pratiwi sudah menyerah melawan atau masih ingin terus melanjutkan perlawanannya di kemudian hari.